image
Menu
Account
Cart

No products in the cart.

Perdebatan Definisi Middle Class dan Tren Konten “A Day in My Life

Saat konten di platform media sosial lain seperti Instagram dan TikTok dibawa ke Twitter, acap kali terjadi keributan. Salah satunya ontran-ontran tentang middle class (kelas menengah). Warganet memperdebatkan batasan tentang konsep kelas menengah. Begini ceritanya.

Pada 12 September 2022 pukul 18.54 WIB, akun Twitter (at)tatarsundal mengunggah sebuah video TikTok milik Patricia Stephanie dengan judul “POV: MIDDLE CLASS during weekend in Jekardah”. Tatarsundal berkomentar video tersebut tidak mencerminkan kelas menengah.

Gambar 1. Tangkapan Layar Akun Twitter @Tatarsundah (Sumber: Twitter)

Video tersebut mendapatkan banyak sekali respons dari warganet. Satu per satu barang yang ada di rumah Patricia maupun kegiatan yang dilakukannya, dikuliti satu persatu oleh warganet.

Dimulai dari sarapan. Patricia sarapan dengan blueberry impor seharga Rp 200 ribuan ditambah yogurt, madu, dan sarang burung. Minumannya adalah Smoothie. Minum kopi dari mesin espresso seharga Rp 20 juta. Alat masaknya bermerk Zojirushi dan Thermomix yang harganya bisa serupa dengan harga sepeda motor. Lalu kulkasnya adalah model side by side yang dibandrol di atas Rp 15 juta. Hingga tempat nongkrong di Kilo Restauran yang sekali makan bisa mencapai Rp 700 ribu untuk dua orang.

Lalu, banyak warganet yang mulai mengarang bebas dan membuat definisinya sendiri tentang kelas menengah. Begini di antaranya. Sarapan nasi uduk. Minum jus Alfamart yang banyak gula. Minum kopi Kapal Api. Alat masak Miyako. Kulkas merek China, Changhong, dan nongkrong di Mie Gacoan.

Berdasarkan pantauan Socindex dengan menggunakan kata kunci “middle class” pada 12–14 September 2022, percakapan terkait isu ini mencapai 9.176 talks yang menghasilkan 120.011 engagement (like, retweet, reply). Jumlah akun yang terlibat dalam percakapan mencapai 919 akun. Lalu, topik ini berpotensi melewati linimasa 6,6 juta akun Twitter.

Grafik 1. Statistik Twitter terkait Topik Middle Class periode 12–14 September 2022 (Sumber: Socindex)

Percakapan didominasi dengan sentimen netral (56 persen) dan sentimen negatif (44 persen). Tidak terdeteksi sentimen positif.

Grafik 2. Sentimen Twitter terkait Topik Middle Class periode 12–14 September 2022 (Sumber: Socindex)

Percakapan yang muncul di Twitter bersifat organik yang didominasi oleh akun normal (human) dengan jumlah unggahan sebanyak 1.103 post.

Grafik 3. Kategori Bot terkait Topik Middle Class periode 12–14 September 2022 (Sumber: Socindex)

Spektrum Respons

Pada bagian ini, akan ditunjukkan spektrum respons atas isu kelas menengah di kalangan warganet yang terlibat dalam percakapan pada periode 12–14 September 2022 pukul 9.30 WIB. Jangkara menarik sampel twit (post & reply) melalui Socindex. Setelah pembersihan data, terdapat 662 twit yang memberikan respons terkait topik middle class ini.

Grafik 4. Respons Netizen terkait Topik Middle Class periode 12–14 September 2022 (Sumber: Socindex)
Grafik 5. Top 10 Respons Netizen terkait Topik Middle Class periode 12–14 September 2022 (Sumber: Socindex)

· Tidak Setuju Patricia Stephanie Disebut Middle Class (43 persen)

Dari analisis konten Twitter oleh Jangkara diketahui bahwa sebanyak 43 persen (286 twit) dari sampel percakapan Twitter menunjukkan ketidaksetujuan atas definisi middle class dalam konten Patricia Stephanie. Mayoritas menilai bahwa berdasarkan kondisi rumah, peralatan, tempat nongkrong, dsb, TikToker tersebut adalah golongan kelas atas (upper class). Sehingga tindakan Patricia menyebut dirinya middle class dinilai sebagai aksi humble bragging atau menyombongkan diri dengan cara merendah.

Content creator tersebut juga dinilai tidak peka terhadap kondisi sosial. Di tengah-tengah ekonomi yang makin menjepit dengan kenaikan BBM dan kenaikan harga pokok, saat masyarakat semakin merasa susah, ada golongan upper class mencoba menjadi relatable dengan cara menyebut diri sebagai middle class.

Sejumlah twit menyebut barang-barang yang ada di rumah Patricia tidak layak disebut sebagai produk yang digunakan oleh kelas menengah. Satu-satunya barang yang dinilai cocok dengan status menengah dalam video pendek tersebut adalah body wash merek Scarlett yang harganya Rp 75 ribu per botol.

Berdasarkan analisis teks, adapun brand/produk yang didefinisikan milik kelas menengah oleh warganet adalah sbb:

Tabel 1. Produk Kelas Menengah Menurut Warganet Twitter

· Diskusi tentang Definisi Middle Class (15 persen)

Perdebatan tentang definisi middle class mencakup 15 persen dari total percakapan. Acuan middle class yang paling banyak disebut dalam percakapan adalah versi World Bank (2020). Berdasarkan kriteria World Bank, kelas menengah adalah mereka yang memiliki total pengeluaran dalam rentang Rp 1.200.000 — Rp 6.000.000/bulan/orang. Jika melihat definisi ini, warganet menduga bahwa si pemilik konten sedianya sudah masuk ke kelas atas (upper class).

Tabel 2. Pengelompokan Kelas Berdasarkan Konsumsi Menurut World Bank (Sumber: World Bank)

Meski demikian, banyak warganet yang mempertanyakan pengelompokan oleh World Bank tersebut, karena sekilas terkesan membuat kualitas standar penentuan kelas menjadi lebih rendah. Ya meskipun, sebenarnya tidak sepenuhnya benar kalau dilihat dengan kacamata perhitungan berdasarkan jumlah anggota keluarga.

Simak ilustrasi berikut. Satu keluarga beranggotakan 4 orang, maka mereka harus menghabiskan uang sebesar Rp 4,8 juta hingga Rp 24 juta per bulan untuk bisa dimasukkan sebagai kelas menengah. Mencari duit Rp 24 juta per bulan tentu tidak bisa disebut gampang. Bahkan, buat yang menerima UMR Jogja (berkisar Rp 2 juta) tidak akan bisa masuk ke kelas menengah apabila ia harus memenuhi kebutuhan anggota keluarga lain.

Namun, memang diakui ada disparitas pengeluaran yang amat lebar di level kelas menengah versi World Bank ini. Perbedaan antara konsumsi lower middle dan upper middle bisa sampai 5 kali lipat.

Grafik 6. Analisis Word Cloud terkait Topik Middle Class periode 12–14 September 2022 (Sumber: Socindex)

Disparitas juga terlihat dari klasifikasi yang dibuat oleh Asian Development Bank (ADB). ADB membuat definisi kelas menengah berdasarkan total pengeluaran pada tahun 2010. Kelas menengah disebut sebagai orang yang menghabiskan uang sebanyak US$ 2–20 per hari.

Tabel 3. Pengelompokan Kelas Berdasarkan Konsumsi Menurut Asian Development Bank (Sumber: ADB)

Sementara itu, laporan Global Wealth Report (2015) menggunakan parameter Amerika Serikat. Kelas menengah didefinisikan sebagai orang yang punya kekayaan sebesar US$50.000–500.000. Dengan angka tersebut, persentase kelas menengah di Indonesia cuma 4,4%.

Meski demikian, dengan total kelompok hingga 20 persen (versi World Bank), kelas menengah menjadi target pasar dari para peritel. Blibli.com misalnya. Lokapasar milik Djarum ini menarget kelompok menengah ke atas. Strategi yang ditawarkan adalah jaminan produk asli. Kelas menengah khususnya upper middle dan kelompok atas dinilai memiliki daya beli yang lebih kuat dibandingkan kelompok lain. Oleh karenanya, kelompok ini juga punya demand atas barang-barang yang berkualitas tinggi dan original. Blibli melihat ceruk pada demand tersebut.

· Setuju Patricia Stephanie Disebut Middle Class (11 persen)

Meski suara tidak setuju cukup dominan, tapi tetap ada kelompok warganet yang sepakat bahwa Patricia Stephanie masuk ke dalam kelompok middle class. Sebagian dari mereka memahami bahwa jangkauan kelas menengah itu memang luas. Patricia mereka golongkan sebagai crème de la crème dari kelas menengah atau upper middle.

Sebagian ada yang dalam kehidupan nyatanya memiliki lingkungan sosial yang mengenal keluarga-keluarga kaya (upper class), sehingga mereka menilai bahwa Patricia memang termasuk kelas menengah. Apalagi, ia tidak memiliki asisten rumah tangga (ART), seperti kebanyakan keluarga kaya.

Tiga poin di atas adalah Top 3 respons yang ditangkap dari isu ini. Namun, ada banyak respons lain yang sebenarnya cukup menarik. Di antaranya respons yang membuat warganet jadi membandingkan keadaannya dengan keadaan Patricia sebagai sesama kelas menengah (10 persen). Ada juga yang tentang curhat susahnya menjadi orang miskin (5 persen). Ada pula yang bercerita tentang dilema menjadi kelas menengah khususnya mereka yang berasal dari keluarga PNS (3 persen).

Mengapa Video Keseharian Kian Disukai?

Video yang diunggah oleh Patricia Stephanie menunjukkan kesehariannya sebagai “kelas menengah” di Jakarta mulai dari pagi hingga malam hari. Tren video seperti ini, atau yang biasa disebut konten “a day in my life”, “a day in the life”, atau “daily vlog” memang tengah digandrungi baik oleh content creator maupun oleh para penonton. Tren konten keseharian awalnya muncul di YouTube dengan durasi yang lebih panjang dan merambah ke platform media sosial lain dengan durasi video yang lebih pendek seperti TikTok.

Berdasarkan data Google Trend, terkhusus untuk pencarian di YouTube, kata kunci “day in my life” menunjukkan tren meningkat di lima tahun terakhir. Peningkatan tajam mulai tampak pada 15–21 Maret 2020 atau di minggu ketiga saat virus Corona dinyatakan masuk ke Indonesia. Setelah itu, tren pencarian atas video “day in my life” di YouTube terus menanjak hingga saat ini.

Grafik 7. Tren Pencarian Video YouTube Day in My Life 2017–2022 (Sumber: Google Trend)

Menariknya, Indonesia menjadi negara yang paling sering melakukan pencarian. Dari skala 0–100, Indonesia mendapatkan skor 100. Artinya pencarian video YouTube “day in my life” di Indonesia sangat populer.

Grafik 8. Tren Pencarian Video YouTube Day in My Life 2017–2022 berdasarkan Negara (Sumber: Google Trend)

Sementara, berdasarkan pencarian di mesin Socindex, kata kunci “day in my life” dan “day in the life” di TikTok mulai muncul pada April 2021. Tren pun terus naik pada tahun 2022.

Grafik 9. Kata Kunci Day In My Life di TikTok 2021–2022 (Sumber: Socindex)

Jika ditarik ke belakang, video bertema “a day in my life” mulai muncul di awal tahun 2000-an. Tentu saja di era ini, industri hiburan masih sepenuhnya dipegang oleh selebritis. Di tahun 2003, penyanyi dan aktris Hollywood Hillary Duff merekam video tentang kesehariannya yang berjudul “A day in my life”. Dimulai dari bangun tidur, bermain, bertemu fans, dsb.

Lalu, pada tahun 2005 bersamaan dengan kemunculan YouTube, semakin banyak orang biasa (common people) yang memiliki perekam video dan sambungan internet mulai menggunggah video pribadi ke platform tersebut. Salah satu content creator di fase awal YouTube yang mengunggah video keseharian ke khalayak adalah vlogger asal Amerika Serikat IJustine, sebelum dia fokus untuk menjadi vlogger game dan teknologi seperti sekarang.

Lalu, pada tahun 2010 ke atas, semakin banyak orang yang menggunggah keseharian mereka ke internet sejak kehadiran ponsel pintar. iPhone dari Apple mulai dirilis pada tahun 2007, namun menjadi populer sejak 2010.

Dengan semakin mudahnya akses menjadi YouTuber, ternyata cuplikan-cuplikan video yang biasa-biasa saja tidak cukup untuk menarik perhatian. Sebuah spesifikasi konten harus dibuat. Pada tahun 2017–2018, mulai muncul konten keseharian yang estetik dari YouTuber Korea Selatan. Sebut saja konten keseharian dari Ondo (Februari 2018), Seuddu (Maret 2018), dan Haegreendal (Oktober 2018). Video yang mereka buat menggunakan gaya yang estektik dan sinematik.

Di Indonesia, konten keseharian paling populer masih dipegang oleh selebritis yang terjun ke dunia YouTube. Salah satunya Raffi Ahmad dan Nagita Slavina (RANS). Ada juga keluarga Indonesia-Korea yang tinggal di Korea, Kimbab Family.

Lalu, ada beberapa content creator medium-mikro yang membuat konten-konten keseharian bergaya ekstetik, terutama di segmen ibu rumah tangga dan remaja putri. Mereka yang terinspirasi dari YouTuber Haegendal dan Ondo ini antara lain ariana_arriana dan Leni Mizzle, (segmen ibu rumah tangga) serta imyourmonica_ (segmen remaja putri).

Meningkatnya ketertarikan pada konten-konten keseharian khususnya di masa pandemi, salah satunya karena penonton bisa menemukan hal yang menarik pada kondisi yang biasa-biasa saja (finding interest in the mundane). Terlebih saat konten yang disediakan memiliki style yang estetik, mata dimanjakan oleh rekaman sinematik dengan tone-tone tertentu. Seperti menonton film rasanya.

Selain itu, penonton mendapati video-video tersebut memiliki unsur healing. Sebab banyak konten dilengkapi dengan musik-musik yang membuat rileks (relaxing). Sehingga, menonton video keseharian bisa menjadi cara untuk menghabiskan waktu saat di rumah saja (merujuk pada tingkat kenaikan pencarian dimulai saat pandemi).

Di lain sisi, video keseharian dari content creator level medium dan mikro di Indonesia menjadi wadah iklan bagi brand-brand yang ingin masuk ke pasar-pasar tertentu. Terkhusus untuk brand dengan jenis produk yang digunakan sehari-hari. Misalnya produk skincare, fesyen, produk elektronik, peralatan masak, dan lain sebagainya.

Banyak produk-produk yang disebut oleh netizen Twitter sebagai produk kelas menengah, sebagaimana telah dibahas sebelumnya seperti Scarlett (skincare/bodycare), Stein Cookware (peralatan masak), Mito (produk elektronik), diiklankan lewat YouTuber keseharian seperti Ariana_arrianna maupun Imyourmonica_. Pasar yang dituju adalah ibu-ibu rumah tangga maupun remaja putri kelas menengah yang memiliki daya beli atas produk-produk yang harganya sedang-sedang saja.

Dus, saat Patricia Stephanie menggunakan atribut kelas menengah, tapi barang-barang yang tampak di video kesehariannya ternyata jauh lebih mahal dari yang selama ini dilabelkan sebagai barang-barang kelas menengah oleh kebanyakan masyarakat, maka resistensi publik pun muncul. Tak heran, ada yang berkomentar tentang video middle class in Jakarta milik Patricia Stephanie berbunyi seperti ini; “the only middle class in this video are those Scarlett whitening products”.

Epilog

Analisis konten Twitter menunjukkan adanya keragaman pemahaman masyarakat tentang definisi kelas menengah berdasarkan kondisi sosial ekonomi masing-masing. Bagi mereka yang dalam kesehariannya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi tidak lantas bisa mendapatkan barang dengan harga mahal, melihat kehidupan TikToker tersebut bukan bagian kelas menengah. Sebab, kelas menengah adalah mereka yang menggunakan barang-barang yang harganya sedang-sedang saja (affordable). Sementara, untuk kelompok yang sudah terbiasa bersosialisasi dengan kelas atas, menilai kehidupan TikToker tersebut memang masuk kelas menengah di Jakarta.

Percakapan ini menyuratkan bahwa gap antar sesama kelas menengah di Indonesia kian dalam, mengingat secara konsep pun disparitas pengeluaran antara lower middle dan upper middle bisa berbeda hingga 5 kali lipat.