Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah
Adagium dari pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, di atas populer di telinga kalangan warga Muhammadiyah. Secara singkat, adagium itu diinterpretasikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir sebagai etos hidup warga Muhammadiyah dengan lebih banyak memberi alih-alih mencari penghidupan di organisasi. Adagium inilah yang menjadi napas pembeda Muhammadiyah dengan ormas keagamaan lain.
Belakangan, dinamika itu mungkin berubah. Obral konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada ormas keagamaan akhirnya diterima Muhammadiyah setelah memikirkan sikap selama dua bulan. Sebelumnya, ormas Islam arus utama nasional lain, Nahdlatul Ulama (NU) sudah menerima konsesi IUP. Sempat dielu-elukan karena tidak mau bermain tambang, Muhammadiyah akhirnya luluh.
Badai Protes Internal
Sikap Muhammadiyah dalam menerima tambang secara resmi disampaikan pada forum Konsolidasi Nasional yang digelar di Universitas Aisyah, Yogyakarta, 27–28 Juli 2024. “Muhammadiyah siap mengelola usaha pertambangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024,” kata Sekretaris Umum (Sekum) Abdul Mu’ti dalam konferensi pers usai Konsolnas PP Muhammadiyah. Dalam rilis itu, enam pemimpin PP Muhammadiyah hadir dan duduk bersebelahan. Selain Mu’ti dan Haedar, hadir pula Muhadjir Effendy selaku Ketua Tim Pengelola Tambang Muhammadiyah.
Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyebut keputusan menerima tambang ini sudah melalui kajian dan masukan komprehensif dari berbagai pihak. Baik itu ahli pertambangan, ahli hukum, majelis/lembaga di PP Muhammadiyah, pengelola/pengusaha tambang, ahli lingkungan hidup, hingga perguruan tinggi. Mu’ti juga menjabarkan beberapa poin yang menjadi acuan Muhammadiyah menerima izin pengelolaan tambang.
Di antaranya, keputusan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar 2015 mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk memperkuat dakwah dalam bidang ekonomi selain dakwah dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, tabligh, dan bidang dakwah lainnya. Keputusan itu diterjemahkan dengan menerbitkan Pedoman Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) untuk memperluas dan meningkatkan dakwah Muhammadiyah di sektor industri, pariwisata, jasa, dan unit bisnis lainnya. Unit-unit bisnis baru ini melengkapi gurita Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang pendidikan dan kesehatan, termasuk sektor tambang yang baru disetujui.
Namun, tetap saja keputusan menerima IUP tambang dari pemerintah melahirkan gelombang kekecewaan sejumlah tokoh dan kader-kader daerah. Tidak perlu jauh-jauh, saat konsolnas, kelompok yang menamakan diri Forum Cik Di Tiro sudah melakukan aksi simbolik membakar Kartu Tanda Anggota (KTA) Muhammadiyah sebagai bentuk protes. Selain itu, salah satu pimpinan PP Muhammadiyah yang tidak hadir, Busyro Muqoddas disebut Tempo menolak keras pengusahaan tambang oleh organisasi ini. Dirinya bahkan tidak ikut dalam rilis yang digelar pasca-konsolnas.
Kritikan juga muncul dari Ketua Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam di Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Wahyu Perdana. Seperti yang dimuat bbcindonesia.com, lembaganya sudah mengajukan keberatan dengan mengirim laporan berjudul Kertas Kebijakan LHKP PP Muhammadiyah. Wahyu dalam laporan itu menjabarkan penerimaan izin usaha pertambangan bisa menimbulkan dampak hukum yang berat bagi organisasi dan para pimpinannya. Selain itu, sambungnya, risiko lingkungan menjadi salah satu kekhawatiran utama mengingat industri ekstraktif pertambangan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana lingkungan. Termasuk potensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia.
Efek samping lain yang dikhawatirkan Wahyu dan koleganya di LHKP PP Muhammadiyah adalah pemberian izin ini bisa mematikan independensi Muhammadiyah. Wahyu menilai keputusan yang diambil sekarang berpotensi sebagai “risywah politik” yang mereduksi suara kritis lembaganya terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam artikel terbitan LHKPP PP Muhamamdiyah berjudul “Menimbang Politik “Helm” Pak A.R. dalam Konsesi Menambang” muncul kekhawatiran jika tambang ini akan digunakan untuk meninabobokan gerakan sosial kemasyarakatan Muhammadiyah. Dalam artikel itu, LHKP PP Muhammadiyah mengambil contoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang belakangan menjadi corong dan produsen fatwa bagi kepentingan penguasa.
Rasa keprihatinan juga muncul dari Hening Parlan, Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang kecewa dengan keputusan Muhamamdiyah menerima izin tambang tawaran pemerintah. Hening aktif terlibat advokasi masyarakat terdampak tambang dan menjabat Direktur Program Eco Bhinneka Muhammadiyah. “Semoga (Muhammadiyah) pernah mengajak para dokter Muhammadiyah mengecek kesehatan warga sekitar tambang dan bagaimana dampak kepada ibu dan anak-anak,” kata Hening dalam keterangan tertulis pada media.
Kekhawatiran ini ditangkap Haedar yang mengaku sudah mempertimbangkan segala pemikiran termasuk dari pihak yang kontra. Waktu dua bulan dengan mempertimbangkan segala aspek yang berdasar pada agama Islam dirasa cukup untuk menentukan sikap Muhammadiyah. Haedar ingin Muhammadiyah memiliki role model pengelolaan tambang yang tidak merusak lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik, serta disparitas sosial.
Terpisah, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengkritik keras sikap Muhammadiyah dan NU yang menerima tawaran izin tambang dari pemerintah. Sebab, Jatam yakin mayoritas kader di daerah tidak mau organisasinya terlibat bisnis kotor tambang. Prinsip yang bertolakbelakang dengan aksi para elit organisasi. “Pilihan sikap segelintir elite ormas itu jelas tidak menunjukkan aspirasi kebanyakan anggota” kata Koordinator Jatam Melky Nahar yang dimuat suara.com.
Semangat Haedar agar Muhammadiyah menambang secara adil dan membawa kesejahteraan dianggap mimpi utopis semata oleh Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam. Lagipula, dilihat dari sisi manapun, terjun ke kubangan tambang adalah hal yang kotor. Apalagi untuk lembaga sekaliber Muhammadiyah. Proses dari hulu ke hilir penambangan batubara selalu meninggalkan residu dan bencana lingkungan. Kehadiran ormas keagamaan justru menambah daftar aktor konflik yang selama ini berputar antara pengusaha dan penguasa melawan rakyat.
Aksi protes yang terjadi di kalangan akar rumput telah dimuat berbagai media. Koran Tempo edisi 29 Juli 2024, dalam liputannya “Pro-Kontra Muhammadiyah Menerima Tawaran Izin Tambang” menulis gelombang protes dari kader di daerah. Pasca-pengumuman penerimaan IUP, beberapa pengurus wilayah yang kecewa langsung keluar dari Whatsapp Group pengurus wilayah Muhammadiyah. Tempo menulis beberapa diantaranya adalah pengurus wilayah Muhammadiyah Sragen dan pengurus cabang Aisyiyah Wanasari.
Senada, Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah di Trenggalek, Jawa Timur, Suripto, misalnya mengklaim dirinya bersama warga Muhammadiyah lain sudah menyatakan penolakan kepada pimpinan pusat. Sebab, berkaca pada realitas sekitar, masyarakat Trenggalek terancam dengan kehadiran penambangan emas yang berstatus operasi produksi (IUP-OP) milik PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) seluas 12 ribu hektare. Tambang emas ini disebut paling besar di Jawa dan berpotensi menambah bencana ekologi bagi warga Trenggalek. Awalnya Muhammadiyah mem-back up penolakan ini, akan tetapi perubahan arah kebijakan pusat dikhawatirkan meninggalkan perjuangan kader di daerah yang menolak tambang.
Protes dari berbagai level ini menjadi manifestasi kekhawatiran Wahyu dan koleganya di LHKPP PP Muhammadiyah. Keinginan beberapa elit mengeruk sumberdaya alam bisa membahayakan organisasi. Kader Muhammadiyah tidak mau, organisasi yang didirikan sebagai pendorong kemaslahatan umat justru menjadi salah satu pelaku perusakan lingkungan. Di sisi lain, perpecahan internal ini sudah menjadi gambaran mafsadat-nya pengelolaan tambang. Izin yang ditawarkan pemerintahan Jokowi “sukses” mengacak-acak keharmonisan pengurus Muhammadiyah di tingkat pusat dan daerah.
Muhammadiyah Sudah Kaya Tanpa Tambang
Para pengurus PP Muhammadiyah sebetulnya mahfum mereka tidak butuh tambang, setidaknya untuk organisasinya sendiri. Haedar juga sampaikan ke media penambangan akan bersifat “non-profit” meski terdengar mustahil. Tanpa uang dari tambang, organisasi yang didirikan tahun 1912 ini sudah mampu menyejahterakan umat berkat optimalisasi sejumlah aset yang dikelola AUM. Tata kelola aset juga tercatat cukup rapi, dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah menyatakan bahwa semua harta kekayaan adalah milik Persyarikatan Muhammadiyah.
Ketua PP Muhammadiyah periode 2015–2020 Hadjriyanto Y. Tohari pernah menyebut trisula AUM saat ini adalah bidang pendidikan (lembaga pendidikan), sosial (panti), dan kesehatan (rumah sakit). Ketiganya menjadi motor penggerak usaha Muhammadiyah sekaligus sarana pembangunan kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki Muhammadiyah. Kampus Universitas Muhammadiyah misalnya, tersebar di berbagai kota di Indonesia dan menjadi medan dakwah Muhammadiyah di bidang pendidikan. Muhammadiyah juga tercatat memiliki aset pendidikan di luar negeri yakni Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM), Muhammadiyah Australia Collage (MAC), sampai TK ABA di Kairo, dan sekolah darurat untuk pengungsi Palestina di Lebanon.
Secara konsep, fokus terbesar Muhammadiyah saat ini di bidang pendidikan dan kesehatan sudah berada di jalur yang benar. Lembaga pendidikan didirikan untuk modal membentuk sumberdaya manusia, sedangkan aset kesehatan seperti rumah sakit dan klinik menjadi tempat pelayanan yang tidak berorientasi keuntungan. Saat berulangtahun ke-111 pada 2023, Muhammadiyah dikabarkan memiliki kekayaan hingga Rp 400 triliun yang terdiri dari berbagai bentuk aset. Nilai pastinya memang tidak pernah dikonfirmasi PP Muhammadiyah, tapi media meyakini tidak jauh dari angka taksiran tersebut. Dari sini sudah terlihat jika Muhammadiyah sebenarnya tidak butuh tambang.
Mengelola tambang juga membutuhkan kompetensi tersendiri. Meski nantinya bisa menggandeng pihak lain, akan tetapi Muhammadiyah tetap harus memahami hal-hal yang berkaitan bisnis tambang itu. Dari sisi SDM, barangkali Muhammadiyah tidak kekurangan orang yang memiliki kompetensi untuk itu. Namun, mengelola tambang, tak hanya soal kompetensi, akan tetapi juga soal lobi-lobi bisnis, menjual produk tambangnya, dan berbagai hal berkaitan bisnis lainnya.
Modal keuangan juga menjadi tantangan tersendiri. Mu’ti mengatakan Muhammadiyah akan membentuk badan usaha khusus yang mengelola tambang. Sejauh, ini belum jelas lokasi mana yang diberikan ke Muhammadiyah. Pemerintah sudah menyiapkan enam lahan eks Perjanjian Karya Pengusahaan Partambangan Batu Bara (PKP2B) untuk ormas keagamaan. Keenam lahan itu bekas PT Kaltim Prima Coal (KPC, sudah diberikan ke NU), PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MHU), dan PT Kideco Jaya Agung.
Muhammadiyah dirumorkan mendapat jatah lahan bekas kelolaan PT Arutmin Indonesia, anak usaha BUMI Resources. Sebagai gambaran, untuk tahun 2024 BUMI mengalokasikan belanja modal USD 80 juta atau sekitar Rp 1,304 triliun (kurs Rp 16.308,65) untuk Arutmin dan KPC dengan target volume batubara 80 juta ton. Rinciannya USD 1 untuk 1 ton produksi batubara. Sedangkan tahun lalu, pendapatan BUMI (termasuk Arutmin) mencapai USD 1,67 miliar. Jangan salah, belanja modal di atas sifatnya hanya maintenance. Untuk akumulasi aset, pembelian alat produksi, biaya pra-produksi, pajak, dan lainnya tentu berkali lipat lebih dari itu. Siapkah keuangan Muhammadiyah bermain di sektor yang high capital?
NU Hanya Salah Momentum
Sebagai “kakak-adik” Muhammadiyah dan NU tidak bisa dipisahkan dalam konstruksi peradaban Islam modern di Indonesia meski banyak sisi yang bertentangan. Perihal praktik keagamaan, NU lebih konvensional dan Muhammadiyah lebih modern. Penentuan tanggal 1 Syawal atau Idul Fitri juga tak luput dari perbedaan keduanya. Warga NU lebih nyaman salat Subuh dengan Qunut, sedangkan Muhammadiyah tidak. Kedua ormas yang berbeda dalam beberapa aspek religi ini pada akhirnya menyepakati satu hal yakni soal pengelolaan tambang.
Saat NU mengumumkan terima penawaran tambang dari pemerintah, publik kompak menghujat ormas ini. Tidak hanya itu, NU juga disandingkan dengan Muhammadiyah yang saat itu belum menentukan sikap sebagai organisasi yang butuh duit dari pengerukan sumberdaya alam. Kesalahan NU dalam kasus ini adalah mengumumkan terlalu awal sehingga menjadi samsak warganet di media sosial.
Untuk mengetahui tren percakapan di X dan Instagram, Jangkara membuat matriks pencarian dengan kata kunci kedua ormas plus keyword “tambang” di platform milik Socindex. Hasilnya sepanjang 1 Juni-30 Juli 2024 ditemukan tren percakapan yang relatif seragam antara NU dan Muhammadiyah. Namun, tren percakapan NU lebih bergejolak ketimbang Muhammadiyah. Momentum utamanya adalah saat NU mengumumkan diri sebagai ormas keagamaan pertama yang menerima izin tambang. Inilah momentum saat warganet ramai-ramai menghujat NU.
Grafik 1. Engagement NU (kiri) dan Muhammadiyah (kanan) di X. Sumber: Socindex
Di lonjakan selanjutnya, NU masih tetap disebut tapi kalah dari trafik percakapan Muhammadiyah yang mengumumkan penerimaan izin tambang dalam konsolidasi nasional. Puncaknya justru pada 25 Juli 2024, saat media sudah ramai memberitakan Muhammadiyah akan mengikuti jejak NU. Isu ini baru terkonfirmasi dua hari kemudian dalam konsolnas di Universitas Aisyah 27–28 Juli 2024.
Untuk mengonfirmasi hal ini, tim Jangkara melihat total data engagement antara kedua ormas. Dari sisi unggahan dan komentar, kata kunci NU lebih mendominasi percakapan. Ada 1.920 cuitan di X yang memuat NU dan tambang, kemudian jumlah komentar mencapai 1.304 komentar.
Grafik 2. Total data engagement NU (kiri) dan Muhammadiyah (kanan) . Sumber: Socindex
Meski demikian, percakapan di X tidak melulu berisi hujatan kepada dua organisasi ini. Banyak cuitan yang berisi kekecewaan dan harapan agar Muhammadiyah dan NU mau menganulir izin tambang yang diterima. Tujuannya jelas, menyelamatkan marwah organisasi agar tidak terlibat perusakan lingkungan lebih dalam. Diskusi di media sosial menguatkan pendapat Melky Nahar, bahwa persetujuan yang digulirkan segelintir elite tidak mewakili aspirasi akar rumput.
Penutup
Muhammadiyah akhirnya menerima penawaran tambang pemerintah dengan janji mengelola tambang secara adil. Narasi ini ditentang sejumlah kader, mustahil menjalankan tambang tanpa merusak lingkungan. Terlebih kondisi fundamental Muhammadiyah dengan aset yang dikelola lebih dari cukup untuk menghidupi diri sendiri. Jika benar-benar terlaksana, dikhawatirkan bukan saja lingkungan yang hancur, tapi nama baik Muhammadiyah juga turut dipertaruhkan. Perpecahan internal sebagai tanda zamannya.