image
Menu
Account
Cart

No products in the cart.

Work Life Balance Penting Bagi Gen Z, Gaji Layak dan Jam Kerja Fleksibel Jadi Incaran

Sebanyak 95 persen responden sepakat work life balance penting bagi kehidupan mereka.

Gen Z (lahir tahun 1997 – 2012) menjadi generasi yang paling disorot saat ini, karena proporsinya mencapai 34,74 persen dari seluruh usia produktif. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) total usia produktif mencapat 192,67 juta jiwa.

Kehadiran Gen Z di dunia kerja membuat pemahaman atas karakteristik dan preferensi mereka menjadi penting. Untuk mengetahuinya, perusahaan riset digital Jangkara Data Lab (Jangkara) bersama Jakpat melakukan riset bertajuk ”Mengungkap Preferensi Karir Gen Z”.

Riset ini menjaring serta menganalisis percakapan publik dan opini Gen Z yang dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, monitoring media sosial X (Twitter) oleh Jangkara dengan mesin big data Socindex selama periode 01 April-31 Mei 2024 dengan kata kunci yang berkaitan dengan persyaratan pekerjaan, gaji, lingkungan kerja, dan preferensi pekerjaan lain. Kedua, survei online yang dilakukan Jakpat melalui platform digital pada 1-3 Juni 2024 dan melibatkan 1.185 responden Gen Z berusia antara 16-29 tahun yang sudah bekerja. Kombinasi dua metodologi ini diharapkan bisa membuat hasil riset menjadi lebih komprehensif.

Gaji Jadi Pertimbangan Utama Memilih Pekerjaan

Hasil survei mengungkap, besaran gaji masih menjadi penentu terbesar dalam mencari pekerjaan. Sebanyak 65 persen dari 1.185 responden yang sudah bekerja menilai besaran gaji masih menjadi pertimbangan terbesar. Kemudian, 48 persen responden memperhatikan waktu kerja yang fleksibel.

Faktor lain yang diperhitungkan adalah pengembangan karir yang jelas, dipilih 45 persen responden. Serta, lingkungan kerja suportif yang menjadi pilihan dari 44 persen responden.

Survei mengungkap, para Gen Z tidak terlalu tertarik dengan jam kerja tradisional dan keharusan bekerja dari kantor (work from office/WFO). Hanya 8 persen responden yang tertarik WFO. (Lihat halaman 5 report)

Ekspektasi Gaji yang Paling Banyak Dipilih Kisaran Rp 5-10 Juta

Gaji masih menjadi penentu utama dalam memilih pekerjaan. Adapun ekspektasi kisaran gaji yang paling banyak dipilih, yakni 40 persen responden adalah Rp 5-10 juta. Angka ini dianggap cukup ideal untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup dan menabung.

Lalu, sebanyak 31 persen responden memilih ekspektasi gaji terendah antara Rp 1-5 juta. Sebanyak 15 persen responden memilih kisaran gaji Rp 10-20 juta. Sedangkan 14 persen responden mengharapkan gaji lebih dari Rp 20 juta. (Lihat halaman 7 report)

Bagi 33 persen responden, realisasi gaji mereka saat ini berada di angka moderat dari ekspektasi gaji yang diharapkan, alias tidak terlalu tinggi dan terlalu rendah dari standar mereka.

Sejalan dengan hasil survei online, percakapan di media sosial X juga mengungkap hal yang sama. Sebanyak tiga dari lima topik percakapan teratas berkaitan dengan gaji yang diterima pekerja. Sebanyak 2.939 percakapan di X  terkait keluhan pekerja yang menerima gaji di bawah upah minimum regional (UMR). Temuan lainnya adalah percakapan yang memuat keluhan warganet terhadap besaran gaji mereka dengan 1.627 percakapan, dan 896 percakapan yang berisi harapan pekerja mendapat gaji UMR. Masing-masing topik ini berada di posisi ketiga dan kelima dari jajaran sepuluh topik teratas. (Lihat halaman 11 report)

Work Life Balance Signifikan Bagi Gen Z

Di tengah sulitnya mencari pekerjaan, hasil riset menunjukkan Gen Z masih sangat concern terhadap isu work life balance. Tercatat 95 persen responden menjawab faktor ini penting bagi kehidupan mereka.

Sebanyak 69 persen responden berdalih keseimbangan pekerjaan dan kehidupan pribadi penting untuk meningkatkan kemampuan diri mereka. Lalu, 67 persen responden menyebut work life balance penting untuk menjaga kesehatan mental. Kemudian, 55 persen responden menilai work life balance penting untuk menjaga kesehatan fisik. (Lihat halaman 6 report)

Meski demikian, tidak semua responden sepakat bahwa work life balance penting untuk mereka. Sebanyak 5 persen responden menyebut work life balance tidak penting. Sebanyak 45 persen dari yang menjawab tidak penting, menjadikan kondisi sulitnya mendapat pekerjaan sebagai penyebab. Lalu, 32 persen responden tidak terlalu memikirkan isu ini karena khawatir kehilangan peluang dalam pekerjaannya.

Warganet Lebih Suka Kerja Remote

Tingginya perhatian pada isu work life balance mendorong pekerja Gen Z untuk mencari pekerjaan yang memiliki fleksibilitas tinggi, terutama berkaitan dengan jam kerja dan tempat bekerja yang bisa dilakukan di manapun atau work from anywhere (WFA).

Sepanjang periode 1 April-31 Mei 2024, ditemukan 14.515 percakapan di X yang berkaitan dengan kata kunci pekerjaan. Topik preferensi pekerjaan WFA menjadi yang paling banyak muncul hingga 4.247 kali dan preferensi pekerjaan work from home (WFH) disebut hingga 1.235 kali. Kombinasi kedua topik ini mengindikasikan keinginan pencari kerja untuk mendapat pekerjaan yang bisa dilakukan di mana saja, yang populer sejak Covid-19. Tidak heran jika pekerja memasukkan opsi ini sebagai salah satu faktor dalam mencari pekerjaan selain gaji. (lihat halaman 11 report)

Topik lain yang banyak dibincangkan di X adalah persyaratan batas usia pelamar kerja yang dianggap tidak relevan. Gen Z mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan yang mensyaratkan pengalaman kerja namun dengan batas usia tertentu yang membatasi mereka dalam mendapat pekerjaan. Mereka juga membandingkan persyaratan kerja di luar negeri yang tidak membatasi umur pekerja, sehingga kesempatan kerja di luar negeri lebih besar bagi warganya.

Gen Z Tertarik Bekerja di Luar Negeri

Hasil survei mencatat 85 persen responden setuju dan sangat setuju bahwa sulit mencari pekerjaan yang ideal di Indonesia. Pekerjaan ideal meliputi gaji yang layak, jam kerja yang fleksibel, jenjang karir yang jelas, lingkungan kerja yang tidak toxic, dan lain sebagaiknya.

Kesulitan tersebut membuat opsi bekerja keluar negeri pun muncul. Dari survei tercatat, 74 persen responden tertarik untuk bekerja ke luar negeri dan 20 persen mengaku tidak tertarik. Meski ketertarikan tinggi,  baru 4 persen responden yang mengaku tertarik dan sudah mengajukan lamaran ke luar negeri. Lalu, ada 2 persen yang mengaku tidak tertarik tapi sudah pernah melamar bekerja di luar negeri. (Lihat halaman 8 report)