Artikel ini merupakan tulisan 3 dari serial riset Jangkara Data Lab terkait paylater. Bagian ini merupakan riset dari Jangkara yang dikhususkan untuk mengupas tentang tren paylater di awal tahun 2022. Report lengkapnya dapat diunduh di bagian paling akhir dari artikel.
April 2021, Citibank Indonesia mengumumkan melepas bisnis consumer di 13 negara, termasuk Indonesia. Namun, Citibank Indonesia menyatakan tetap beroperasi di Indonesia melalui unit Institutional Clients Group (IGC). Bisnis consumer yang dilepas meliputi kartu kredit, kredit tanpa agunan, kantor cabang retail, layanan pengelolaan kekayaan atau wealth management, layanan nasabah perbankan individu, layanan perbankan digital, bancaassurance, layanan perbankan melalui telepon, hingga operasional consumer.
Selain Indonesia, Citigroup meninggalkan bisnis consumber banking di China, India, Australia, Bahrain, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Polandia, Rusia, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Sebagian besar berada di Asia. Wilayah ini sebelumnya menyumbang pendapatan dari bisnis consumer banking sebesar US$6,5 miliar dari 224 cabang retail pada 2020.
CEO Citigroup Jane Fraser mengatakan, langkah itu diambil untuk melipatgandakan bisnis wealth management, yang selama ini memiliki pertumbuhan lebih baik. “Kami tidak memiliki skala yang kami butuhkan untuk bersaing (di pasar 13 negara),” kata Jane Fraser.
Citigroup akan tetap menjalankan bisnis consumer banking, tetapi hanya di empat negara yakni Singapura, Hong Kong, London, dan Uni Emirat Arab.
Januari 2022, Citigroup mengumumkan telah mencapai kesepakatan dengan UOB Group untuk penjualan bisnis consumber banking di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Transaksi ini mencakup bisnis kartu kredit dan retail banking, tapi tidak termasuk bisnis perbankan institusi di empat negara tersebut.
Bisnis Kartu Kredit Tak Tumbuh Signifikan
Skala bisnis consumer banking Indonesia barangkali tidak lagi dianggap menarik oleh Citigroup. Pemain semakin banyak, tetapi pertumbuhannya tidak signifikan. Bisnis kartu kredit Indonesia, apalagi selama pandemi nyaris tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan kalau bisa disebut stagnan.
Banyak faktor yang menyebabkan turunnya transaksi menggunakan kartu kredit selama pandemi 2020- 2021. Pertama, penurunan mobilitas. Tidak ada mobilitas berarti tidak ada pembelian tiket perjalanan, belanja di mal, dan lain-lain.
Kedua, melemahnya daya beli masyarakat selama pandemi. Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia yang mengukur rasa optimisme konsumen Indonesia, pada 2020 berada di zona pesimistis. Tahun 2021, angkanya mulai membaik dan sempat kembali ke level optimistis pada April sebelum akhirnya kembali pesimistis karena merebaknya varian delta. Survei Penjualan Eceran (SPE) yang mengukur kinerja penjualan melalui Indeks Penjualan Riil (IPR) juga sempat turun tajam, sebelum akhirnya membaik pada bulan-bulan terakhir pada 2021.
Ketiga, gempuran dari fintech-fintech pinjaman online, termasuk juga paylater yang menawarkan berbagai kemudahan pinjaman dan promo-promo yang menggiurkan.
Pertumbuhan Paylater
Paylater memang sedang tren di seluruh dunia. Popularitasnya meningkat selama pandemi, di saat perekonomian dunia diliputi ketidakpastian. Apalagi, tidak semua orang eligible untuk mendapatkan kartu.
C+R Research, sebuah marketing insight agency menyebut, sekitar 60% orang dewasa di AS telah menggunakan paylater untuk membeli produk. Kaum yang lebih muda juga suka menggunakan paylater ini. Sekitar 60% Gen Z dan milenial membeli produk di media sosial menggunakan opsi paylater.
Paylater sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Zaman dulu kita sering mengenal konsep kasbon: jajan dulu, bayar akhir bulan. Ia juga merupakan bentuk lain dari kartu kredit: gesek dulu, bayar belakangan. Hanya saja, prosesnya lebih sederhana dan mengoptimalkan digitalisasi. Hasilnya, ia bisa menjangkau lebih banyak nasabah secara masif dalam waktu singkat.
Paylater terbagi dua: pertama, masuk sebagai fasilitas dari aplikasi jasa keuangan. Misalnya: Kredivo, Home Credit, Atome, Indodana, Julo, Akulaku, dan yang lainnya. Kedua, yang disematkan di e-commerce, ride hailing, online travel, atau aplikasi populer lainnya. Misalnya: GoPaylater, Shopeepaylater, OVO paylater, Traveloka Paylater, dll.
Sejumlah dompet digital juga menyematkan fitur paylater ini, sehingga jika digunakan untuk pembayaran di merchant-merchant, nasabah bisa mengambil opsi paylater.
Paylater yang disematkan di aplikasi populer tersebut biasanya diselenggarakan oleh pihak ketiga. Paylater menjadi pelengkap dari beragam sistem pembayaran yang disediakan. Nyaris seluruh penyedia aplikasi tersebut tidak mengeksklusifkan pembayaran pada 1 pihak tertentu.
Popularitas paylater memang terus menanjak. Penggunanya pun terus meningkat. Menurut data Statista, pembayaran e-commerce menggunakan paylater berada di posisi ke-6 dengan porsi sebesar 3%.
Faktor pertama yang mendorong pertumbuhan paylater adalah godaan promo-promo yang ditebar. Mulai dari reward berupa koin, cash back, harga tiket yang lebih murah, diskon hotel, hingga promo-promo diskon harga barang yang sangat menggoda.
Strategi bakar uang melalui promo ini digencarkan untuk akuisisi nasabah baru, sekaligus menciptakan kebiasaan baru. Fintech-fintech, dengan dukungan dana yang besar memungkinkan untuk “bakar uang” ini selama proses akuisisi nasabah. Tentu saja, ini tidak akan berlangsung selamanya karena perusahaan tetap harus mencari pertumbuhan yang berkesinambungan.
Fintech Report 2021 yang dirilis DSInnovate menyebut, pada kuartal III-2021, sektor fintech mendapatkan aliran pendanaan terbesar sepanjang tahun. Totalnya mencapai US$425 juta untuk 11 transaksi per kuartal III-2021. Subsektor e-money, lending, open finance, dan paylater menjadi penerima pendanaan.
Faktor kedua adalah kemudahan untuk mendaftar paylater. Prosesnya bisa sangat singkat dan tidak serumit pengajuan kartu kredit. Untuk mendapatkan kartu kredit, data yang harus disiapkan cukup banyak dan proses yang harus dilewati cukup panjang. Kartu kredit umumnya mensyaratkan KTP, KK, slip gaji atau rekening koran. Prosesnya bisa memakan waktu antara 1-4 pekan dari pengajuan data, hingga kartu kredit aktif bisa digunakan.
Bank memang tidak sembarang memberikan kartu kredit. Nasabah harus benar-benar eligible, dan memiliki skor kredit yang baik. Ini dikarenakan bank harus menerapkan kehati- hatian, di samping menjaga NPL bisnis kartu kredit agar tidak melebihi ketentuan. Peraturan untuk bank lebih rigid, berbeda dengan fintech yang sejauh ini ranah aturannya masih abu-abu. Pemerintah sendiri baru akan menggodok RUU fintech untuk memperjelas payung hukumnya.
Sementara untuk mengaktifkan paylater, seorang nasabah cukup mengunggah foto diri dan KTP, mengisi data, verifikasi, hingga akhirnya mendapatkan limit paylater yang kemudian bisa digunakan untuk bertransaksi. Prosesnya hanya antara 1-2 hari. Meski demikian, para penyedia paylater tetap menyaring nasabah melalui sistem credit scoring untuk menekan angka kredit bermasalah.
TKB90 yang mengukur keberhasilan P2P lending dalam menyelesaikan kewajiban pinjam meminjam sampai 90 hari sejak jatuh tempo angkanya masih terkendali sebesar 97,76% per November 2021. Sementara TWP90 yang merupakan angka wanprestasi hanya berada di angka 2,24%. Selama Oktober-November trennya meningkat di atas 2%. Sebelumnya, TWP90 P2P lending selalu berada di bawah 2%.
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit (AKKI) mencatat NPL kartu kredit hingga September 2021 masih terkendali pada kisaran 2%-3%.
Penetrasi Kartu Kredit Rendah, Booming e-Commerce
Paylater hadir saat penetrasi kartu kredit Indonesia masih sangat rendah. Laporan Daily Social bertajuk “Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021” yang dirilis pada September 2021 menyebutkan, penetrasi kartu kredit hanya sekitar 6% dari total penduduk Indonesia.
Pengguna paylater kebanyakan belum memiliki kartu kredit. Survei dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia “Peran GoTo Financial terhadap inklusi keuangan Indonesia tahun 2021” tentang penggunaan GoPaylater pada semester I-2021 menyebut, sekitar 83% pengguna GoPaylater tidak memiliki kartu kredit. Mayoritas pengguna GoPaylater memiliki penghasilan Rp2,5-5 juta per bulan.
Booming paylater juga dipicu oleh booming e-commerce di Indonesia. DSInnovate Survei pada “Fintech Report 2020” menyebut paylater dalam tiga besar produk fintech yang paling banyak digunakan.
Paylater juga hadir sebagai solusi dari kelompok muda yang melek teknologi.
DSInnovate “Fintech Report 2021: The Convergence of (Digital) Financial Sevices yang dirilis Desember 2021 menyebutkan, pengguna paylater kebanyakan dari generasi muda yakni Gen Z dan milenial, yang memiliki tingkat adopsi digital lebih tinggi dibandingkan generasi lainnya.
Sementara survei “Perilaku Keuangan Generasi Z & Y” yang dilakukan Katadata Insight Center bekerjasama dengan Zigi menyebutkan paylater digunakan oleh 13,8% responden. Dompet digital menempati posisi pertama dengan persentase 67,8%.
Berbeda dengan pengguna kartu kredit, kelompok muda ini umumnya menggunakan paylater untuk membeli barang-barang yang sifatnya konsumtif. Menurut survei Katadata Insight Center, kelompok milenial dan Gen Z menggunakan paylater untuk pembelian barang-barang konsumtif seperti fashion dan aksesoris, pulsa, gadget.
Survei dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia tentang penggunaan GoPaylater pada semester I-2021 menyebutkan, GoPaylater digunakan untuk membayar layanan Gojek (80%), tagihan (54%), belanja online (33%), hingga voucher game atau hiburan online (22%). Juga untuk layanan investasi mulai dari reksa dana (46%), emas digital (39%), cryptocurrency (25%).
Bank Mulai Melirik Paylater
Industri paylater di Indonesia diperkirakan terus tumbuh. Menurut Q4 2020 BNPL Survey dari Research and Market, paylater di Indonesia diperkirakan tumbuh hingga 76,7% menjadi US$1,5 miliar pada 2021. Secara jangka menengah dan panjang, industri paylater di Indonesia diperkirakan masih akan kuat dengan CAGR 27,4% untuk periode 2021-2028. BNPl Gross Merchandise Value (GMV) diperkirakan meningkat dari US$889,7 juta (2020) menjadi US$8,5 miliar pada 2028.
Paylater diperkirakan masih akan tumbuh pesat bersamaan dengan pertumbuhan e-commerce. BI memperkirakan transaksi e-commerce tahun 2020 akan mencapai Rp530 triliun, meningkat 31,4% dari proyeksi total transaksi tahun 2021 sebesar Rp403 triliun.
Akulaku, menargetkan pembiayaan Akulaku Finance Indonesia tahun 2021 sebesar Rp7 triliun, hingga November 2021 sudah terealisasi Rp8,8 triliun. Menurut Presiden Direktur Akulaku Finance Indonesia Efrinal Sinaga, tahun 2022 diperkirakan bisa tumbuh 30% untuk layanan paylater.
Beberapa bank tercatat mulai melirik paylater misalnya BRI dan BNI yang bekerjasama dengan Traveloka untuk menyediakan paylater. Dua bank sudah menyatakan minatnya untuk masuk ke bisnis paylater: BCA dan Mandiri. Namun, hingga awal tahun 2022 belum terealisasi.
Perusahaan P2P lending Kredivo juga rajin menjalin kerjasama dengan bank untuk menyediakan paylater. Dengan Bank Sampoerna, Kredivo meluncurkan Kartu “Paylater” Flexi Car, yang dapat digunakan juga untuk transaksi oine.
Beberapa bank mencoba membuat terobosan dengan membuat kartu kredit virtual. Ini semacam bentuk kompromi untuk menjembatani kartu kredit dan paylater. Kartu kredit virtual sendiri pada dasarnya tak jauh berbeda dengan kartu kredit fisik.
Sementara Modalku meresmikan Virtual Credit untuk membantu UKM mengandalikan arus kas dengan paylater. Standard Chartered dan Atome Financial melakukan kemitraan strategis pengembangan multi produk, tahap awal paylater, dilanjutkan dengan pinjaman digital
Beberapa bank menilai paylater bukan pesaing kartu kredit. Seperti ditegaskan oleh Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja.
“Ini bukan persaingan. Suatu market baru yang di-adapt oleh e-commerce untuk belanja dengan sistem kredit. Mungkin nasabah ini belum kredibel secara perbankan, tapi karena langganan di e-commerce dan ada track record belanja, makanya bisa dikasih kredit,” kata Dirut BCA Jahja Setiaatmadja, dalam paparan kinerja BCA Q1/2022 April 2021 lalu.
Epilog
Kartu kredit dan paylater memang memiliki pangsa pasar tersendiri. Keduanya bisa tetap tumbuh bersama untuk mengambil porsi kredit konsumer di Indonesia yang masih sangat besar. Dengan jumlah penduduk yang besar dan 60% merupakan usia produktif, kredit konsumtif akan tetap memiliki prospek yang besar.
Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa paylater hadir mengambil porsi dari pasar potensial yang seharusnya bisa diambil oleh kartu kredit. Paylater mengambil pasar orang- orang unbankable yang tidak akan bisa terjangkau oleh kartu kredit. Di saat yang sama, digitalisasi dan booming e-commerce membuat orang semakin konsumtif. Godaan promo kerap membuat orang berpikir: beli dulu, bayar belakangan.
Baik paylater ataupun kredit tidak selamanya buruk. Ia bisa buruk kalau pengguna tidak disiplin bayar, membuat utang menumpuk dan kena bunga berbunga. Pada akhirnya jumlah utang akan melampaui kemampuan bayar dan kalau sudah demikian, akan sulit untuk mencari jalan keluarnya.
Namun, jika kartu kredit digunakan dengan bijak, paylater justru bisa membantu mengelola keuangan kita. Pembelanjaan bisa dibatasi sebatas limit paylater yang dimiliki. Sayangnya, tidak banyak yag demikian. Banyak yang tergoda untuk terus menambah limit, dan lebih buruk lagi melakukan praktik gali lubang tutup lubang.
Artikel 1 Kisah Paylater yang Semakin Populer
Artikel 2 Hati-Hati! K-Popers Jadi Target Besar Bujuk Rayu Paylater