Rencana pemerintah untuk menyesuaikan subsidi KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan atau NIK pada tahun 2025 menuai kegaduhan di kalangan publik. Ramai-ramai masyarakat menolak rencana tersebut. Kebijakan itu disebut hanya akan memberatkan akses transportasi umum bagi masyarakat. Hal yang dinilai kontradiktif dengan target pemerintah dalam meningkatkan penggunaan transportasi umum. Di sisi lain, kondisi ekonomi negara perlu menjadi perhatian. Tingginya inflasi hingga belum adanya kenaikan tarif KRL sejak tahun 2016 menjadikan rencana kebijakan tersebut cukup beralasan.
Rencana pemerintah tersebut tercantum dalam Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2025. Dalam dokumen itu tertulis, pemerintah akan memberikan sejumlah catatan perbaikan dalam pemberian total subsidi kewajiban pelayanan publik (public service obligation/PSO) tahun 2025 yang direncanakan sebesar Rp7,96 triliun. Salah satu perbaikan tersebut melalui penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek.
Kementerian Perhubungan membenarkan adanya rencana tersebut. Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati menyampaikan penerapan skema subsidi KRL berbasis NIK apabila dilihat secara infrastruktur memungkinkan untuk dilakukan. Pemerintah kini, tambah Adita, tengah mengkaji penerapan kebijakan tersebut bersama PT Kereta Api Indonesia (KAI) selaku operator. Adapun skema subsidi ini menurut Adita dimaksudkan untuk memastikan subsidi tepat sasaran.
Sementara Menteri BUMN, Erick Thohir mengakui dirinya belum mengetahui detail penerapan subsidi kereta listrik berbasis NIK. Ia mengungkap rencana tersebut masih perlu dibahas bersama antar kementerian dan juga BUMN melalui rapat terbatas (ratas). Kendati demikian, sebagai kementerian yang menjalankan penugasan, Erick memastikan pihaknya akan mendukung apapun keputusan pemerintah terkait rencana kebijakan tersebut.
Menyalahi Prinsip Dasar Transportasi Umum
Suara kontra menilai rencana pemerintah tersebut tidak berkeadilan. Banyak dari mereka yang kontra menyayangkan keputusan pemerintah yang seharusnya lebih memprioritaskan pada perbaikan layanan KRL. Selain itu, mekanisme pengajuan subsidi melalui NIK dan pengawasan nantinya di lapangan juga dinilai akan sangat rumit.
Penetapan subsidi berbasis NIK juga dikhawatirkan hanya akan membedakan kelas pengguna KRL berdasarkan kemampuan ekonomi. Hal ini tentunya menyalahi prinsip dasar transportasi umum yang bersifat inklusif dan melayani semua kalangan dengan standar layanan yang sama.
Perwakilan komunitas pengguna kereta yang tergabung dalam KRLMania, Nurcahyo menilai konsep subsidi transportasi umum berbeda dengan konsep bantuan sosial yang didasarkan pada kemampuan ekonomi. Subsidi pemerintah pada KRL seharusnya dimotivasi oleh kepentingan untuk mendorong penggunaan transportasi umum yang dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan tujuan utama yaitu pengurangan kemacetan dan polusi udara. Sebab itu, menurutnya, subsidi selayaknya diberikan semata untuk pengadaan sarana transportasi umum.
Hal itu juga yang disoroti oleh sejumlah pihak terkait realisasi pemerintah dalam menyalurkan PSO. PSO merupakan kewajiban layanan publik melalui pemberian subsidi wajib dari pemerintah untuk layanan umum termasuk transportasi umum dalam hal ini KRL. Bentuk PSO yang diberikan pemerintah untuk transportasi umum khususnya kereta komuter adalah menanggung selisih harga biaya produksi atau sarana kereta api.
Nurcahyo menambahkan bagi layanan umum yang mendapat PSO semestinya dibedakan dengan subsidi bantuan sosial. Oleh karenanya, upaya untuk menjaga subsidi tepat sasaran melalui pembatasan pemberian subsidi KRL hanya bagi kalangan tertentu berdasarkan kemampuan ekonominya dinilai kurang tepat.
Hal senada juga disampaikan oleh pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang. Ia menilai pemberian subsidi PSO sebaiknya dilihat sebagai upaya oleh pemerintah untuk meningkatkan penggunaan transportasi umum yang dimaksudkan untuk cita-cita yang lebih besar seperti mengurangi kemacetan, mengurangi emisi karbon, hingga mengurangi angka kecelakaan di jalan raya. Karenanya, Deddy menilai, pemberian PSO untuk transportasi umum harus digelontorkan sebanyak-banyaknya, bukan justru dikurangi melalui rencana kebijakan subsidi berbasis NIK.
Mengutip Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, outlook PSO sepanjang 2024 diperkirakan mencapai Rp7,88 triliun. Jumlah tersebut lebih tinggi Rp2,20 triliun dibandingkan dengan realisasi anggaran PSO di tahun 2023 sebesar Rp5,09 triliun. Di tahun 2025, PSO kembali ditingkatkan 0,9% atau menjadi Rp7,96 triliun. Kenaikan tersebut, disampaikan pemerintah, sebagai upaya memperbaiki dan meningkatkan pelayanan umum di bidang transportasi dan penyediaan informasi publik.
Adapun alokasi subsidi PSO terbesar diberikan kepada KAI, disusul oleh Pelni dan Antara. Berdasarkan RAPBN 2025, sebanyak 60,26% subsidi PSO dialokasikan ke KAI, yaitu sekitar Rp4,79 triliun disusul Pelni sebesar Rp2,97 triliun dan Perum LKBN Antara sebesar Rp184,6 miliar. PSO untuk KAI dimaksudkan untuk beragam hal yang dikelola oleh KAI, termasuk kereta jarak jauh, kereta komuter di luar Jabodetabek, dan KRL Jabodetabek.
Kenaikan jumlah anggaran PSO menjadi salah satu dasar pemerintah melakukan rencana pembatasan subsidi melalui NIK yang dimaksudkan agar tidak semakin membebani APBN dengan memastikan subsidinya tepat sasaran.
Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana menyampaikan rencana pemerintah untuk membatasi subsidi KRL melalui NIK cukup beralasan. Subsidi sudah seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah tertentu yang benar-benar membutuhkan dukungan untuk bisa menggunakan KRL. Hal ini juga sejalan dengan semakin besarnya alokasi anggaran PSO yang semakin membebani anggaran negara.
Apalagi jika melihat dari sisi tarif. Sejak tahun 2016, KRL belum mengalami kenaikan tarif, yakni Rp3.000 (berlaku untuk 25 km pertama dan tarif progresif Rp1.000 tiap 10 km berikutnya), sementara tingkat inflasi dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Selain itu, di tahun-tahun terakhir telah beroperasi moda transportasi KA perkotaan dengan tarif yang lebih tinggi, seperti MRT dan LRT. Maka, menurut Aditya, cukup beralasan untuk pemerintah menaikkan tarif KRL dengan dasar tersebut.
Kendati demikian, Aditya menekankan bahwa subsidi saat ini tetap harus diberikan kepada seluruh pengguna angkutan umum. Ia juga meminta pemerintah untuk bisa melakukan proses persiapan yang matang dan lintas sektoral agar penentuan NIK yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan subsidi dapat terukur secara jelas dengan data yang juga akurat.
Di sisi lain, sejumlah pihak menyarankan pemerintah untuk bisa mengalihkan subsidi kendaraan listrik, BBM hingga subsidi moda transportasi lainnya yang lebih ditujukan bagi kelas menengah atas guna menambah subsidi KRL. Hal ini dinilai sebagai solusi yang tepat demi menjaga penggunaan transportasi umum sekaligus menjaga anggaran negara.
Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono menuturkan jika subsidi kendaran listrik tahun 2023 senilai Rp3,35 triliun dapat dialihkan, PSO KAI dapat melonjak hingga lebih dari dua kali lipat.
Yusuf juga berpendapat jika subsidi KRL dibatasi, subsidi besar transportasi massal perkotaan akan banyak diarahkan ke MRT, LRT, atau Kereta Cepat. Padahal dibandingkan KRL Jabodetabek, ketiganya termasuk transportasi umum yang mahal dengan daya angkut terbatas. Subsidi untuk setiap penumpang MRT dan LRT juga lebih dari lima kali lipat dibanding subsidi untuk setiap penumpang KRL yang tentunya hanya akan semakin berpotensi membebani APBN.
Hal senada juga disampaikan lembaga riset, Institute for Essential Services Reform (IESR) yang menyoroti rendahnya subsidi total PSO KRL Jabodetabek dibanding subsidi untuk BBM, pembangunan IKN hingga subsidi kendaraan listrik. IESR menilai pemerintah seharusnya bisa memangkas subsidi BBM yang 80% salah sasaran. Transportasi umum dalam hal ini KRL justru harus diperbesar subsidinya seiring dengan upaya meningkatkan armada, pelayanan serta kenyamanannya.
Suara Penolakan di Media
Suara penolakan terkait rencana kebijakan subsidi KRL berbasis NIK tampak memenuhi ruang percakapan media sosial. Di X (Twitter) isu ini pertama kali mencuat melalui akun milik media pemberitaan, @detikcom yang mengunggah cuitan berupa pemberitaan terkait rencana kebijakan tersebut dari sisi Kementerian Perhubungan. Cuitan tersebut sontak mendapat ragam komentar dari warganet yang mayoritas menolak.
Secara keseluruhan isu kebijakan subsidi KRL berbasis NIK dibicarakan oleh warganet Twitter hingga mencapai 1.151 percakapan. Jumlah tersebut ditemukan dengan bantuan alat big data Socindex, menggunakan kata kunci “KRL” dan “NIK”. Adapun periode waktu percakapan tersebut adalah dari tanggal 28 Agustus 2024, bersamaan dengan isu pertama kali muncul di Twitter sampai tanggal 4 September 2024.
Perbincangan mencapai puncaknya di tanggal 30 Agustus 2024 yakni mencapai 466 percakapan bersamaan dengan isu ini mendapat perhatian publik selepas Presiden Joko Widodo menyampaikan ketidaktahuannya akan adanya rencana kebijakan tersebut. Isu ini berhasil mencapai 2 juta lebih pengguna Twitter dan berpotensi mencapai buzz reach hingga mencapai 95,9 juta. Penolakan mendominasi isu kebijakan ini yang tampak dari banyaknya sentimen negatif dalam percakapan yakni sebanyak 891 percakapan.
Cuitan dari akun pemberitaan detikcom pun menjadi akun yang paling banyak mendapat interaksi dari warganet. Cuitan tersebut telah dilihat sebanyak 7,3 juta kali dengan jumlah komentar mencapai 1.700 reply, 8.100 retweets dan 2.600 likes.
Media pemberitaan memang menjadi akun di Twitter yang berkontribusi terhadap ramainya percakapan mengenai kebijakan ini. Tampak dari top akun percakapan yang didominasi oleh akun-akun milik media pemberitaan seperti kompas.com, officialnews_, kumparan, liputan6dotcom, CNNIDdaily dan lain sebagainya.
Ramainya akun media pemberitaan di media sosial tentunya sejalan dengan tingginya jumlah pemberitaan tentang rencana kebijakan subsidi KRL berbasis NIK di media konvensional. Menggunakan alat big data Newstensity, selama periode 28 Agustus-4 September 2024 menggunakan kata kunci “KRL” dan “NIK”, pemberitaan mencapai sebanyak 954 pemberitaan. Adapun puncak pemberitaan juga terjadi di tanggal 30 Agustus 2024 yang berangsur turun di hari setelahnya dan kembali tinggi di tanggal 2 September 2024 bersamaan dengan Menteri BUMN, Erick Thohir yang buka suara terkait rencana kebijakan tersebut.
Sentimen negatif juga mendominasi pemberitaan mengenai rencana kebijakan subsidi KRL berbasis NIK dengan jumlah berita mencapai 469 berita. Sentimen negatif tampak pada sejumlah pemberitaan dengan headline penolakan hingga kritik dari sejumlah pihak terhadap rencana kebijakan tersebut. Sentimen positif menempati posisi kedua pemberitaan dengan 415 berita. Pemberitaan positif didominasi oleh pemberitaan dari sisi pemerintah seperti kementerian terkait dan pihak internal KRL yang buka suara terkait isu rencana kebijakan tersebut.
Pemberitaan mengenai isu rencana kebijakan subsidi KRL berbasis NIK yang cenderung negatif juga tampak dari sejumlah kata kunci yang muncul dalam pemberitaan seperti kata “polemik”, “kontra”, “rugikan”, “protes”, “kritik” hingga “tolak”.
Pelayanan KRL Masih Banyak Masalah
Desakan untuk pemerintah bisa memperbaiki pelayanan transportasi umum bermunculan di tengah penolakan rencana kebijakan subsidi KRL berbasis NIK. Masyarakat merasa tidak adil harus membayar lebih jika nantinya rencana pembatasan subsidi diterapkan ketika menggunakan KRL saja masih harus berdesakan akibat sarana yang belum memadai.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, KRL Commuter Line menjadi moda transportasi populer di Jabodetabek. Sebagai moda transportasi berbasis rel perkotaan terbesar di Indonesia, KRL Jabodetabek melewati lebih dari 90 stasiun yang menghubungkan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Dengan jalur Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Serpong, KRL menjadi pilihan utama komuter masyarakat di wilayah Jabodetabek.
PT KAI Commuter Indonesia (KCI) sebagai operator KRL mencatat per Juli 2024, rata-rata jumlah penumpang KRL Jabodetabek per hari mencapai 1.054.600 orang. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatatkan tren kenaikan jumlah penumpang KRL Jabodetabek pasca-pandemi COVID-19. Di tahun 2024 bahkan diperkirakan jumlah penumpangnya dapat mencapai 345 juta penumpang, lebih tinggi dibanding tahun sebelum pandemi COVID-19.
Di tengah tingginya mobilitas masyarakat Jabodetabek dengan KRL, banyak pihak menyayangkan kurangnya komitmen pemerintah untuk memperbaiki pelayanan moda transportasi umum tersebut. Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian MTI, Aditya Dwi Laksana mengungkap tantangan PT KCI utama saat ini adalah keterbatasan sarana KRL di tengah meningkatnya mobilitas masyarakat.
Adapun keterbatasan sarana berupa fasilitas seperti eskalator yang tidak berjalan maksimal, potensi penurunan kapasitas angkut KRL karena faktor usia dan perbaikan serta peremajaan yang masih memerlukan waktu, sejumlah stasiun seperti Manggarai dan Tanah Abang yang masih dalam proses revitalisasi. Plus, kualitas layanan transit KRL yang juga dinilai masih belum sempurna, dan permasalahan lainnya.
Sejumlah usulan sudah disampaikan seperti impor KRL bekas pakai, tetapi ditolak pemerintah. Sementara pembelian tiga set KRL baru masih memerlukan waktu. Demikian juga kontrak pengadaan KRL dengan PT Industri Kereta Api (INKA) yang paling cepat baru bisa terealisasi secara bertahap pada tahun 2025.
Institut Transportasi dan Pengembangan Kebijakan (ITDP) Indonesia menuliskan sejumlah solusi jangka pendek yang bisa menjadi prioritas pemerintah dalam meningkatkan layanan KRL. Di antaranya yaitu penambahan kapasitas sistem KRL Jabodetabek melalui implementasi rute poros tambahan, peningkatan integrasi KRL Jabodetabek dengan moda lainnya, penyesuaian regulasi terkait seperti batas usia kereta dengan tetap memprioritaskan aspek keselamatan dan yang terakhir penerapan sistem pengadaan sarana yang terstruktur dengan rencana mitigasi penurunan kapasitas layanan di masa datang.
Penutup
Masih banyaknya masalah sarana transportasi umum di tengah tingginya mobilitas masyarakat Jabodetabek menjadikan rencana pemerintah untuk meningkatkan subsidi KRL berbasis NIK kurang tepat untuk dilaksanakan. Rencana tersebut kontraproduktif dengan target pengguna transportasi umum sebagaimana dalam rencana induk transportasi Jabodetabek mencapai 60% pengguna di tahun 2030. Adapun saat ini, persentase penggunanya masih berkisar di angka 15%, masih cukup jauh dari target.
Perlu adanya kajian menyeluruh terkait penyesuaian tarif transportasi umum yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk menjaga anggaran negara tidak jebol. Harapannya agar kebijakan yang dihasilkan nantinya dapat tetap berorientasi pada terpenuhinya kepentingan publik.