Ditengah semakin maraknya mainan koleksi atau yang biasanya dikenal dengan action figures, belakangan ini lini masa media sosial kembali digemparkan oleh Labubu, karakter elf yang dibuat oleh seniman Belgia kelahiran Hong Kong, Kasing Lung.
Salah satu pemicu popularitas Labubu di Indonesia adalah unggahan dari idola K-pop Lisa Blackpink pada April 2024. Saat itu, Lisa mengunggah video dirinya di Instagram story-nya sedang memeluk boneka mewah Labubu. Menurut sejumlah pemberitaan, Lisa bahkan terlihat menghiasi tas Kaithe Elena dan Birkin miliknya dengan liontin Labubu.
Terbaru, fenomena Labubu yang mendadak sangat viral ini memuncak saat store Pop Mart terbaru hadir di Jakarta tepatnya di mall Gandaria City. Edisi terbatas boneka elf ini memancing antrean panjang di Pop Mart, Gandaria City, Jakarta Selatan. Ribuan pembeli rela antre sejak dini hari demi mendapatkan boneka yang kini menjadi incaran di seluruh dunia.
Kedatangan boneka Labubu ini juga menggegerkan media sosial X hingga menjadi trending. Selama beberapa hari, X dibanjiri dengan foto antrean mengular sedari subuh di depan Mal Gandaria City.
Para kolektor rela mengantre sejak subuh hingga malam hari. Beberapa kolektor menyatakan kegemarannya pada Labubu karena bentuknya yang sangat lucu dan menggemaskan. Mereka telah mengoleksi blind box dari Pop Mart dan rela war mengincar Labubu bahkan sejak Pop Mart store belum hadir di Indonesia.
Selain itu, ada pula anak muda yang ikut mengantre karena ingin mendapatkan boneka lucu yang juga dimiliki oleh K-Pop Idol-nya tersebut. Mereka tidak hanya sekadar membeli Labubu, tetapi juga merasa terhubung dengan idola mereka melalui boneka ini.
Kehebohan mengantre ini tentu memantik pula kubu yang kontra. Mereka menilai tren Labubu ini terlalu berlebihan. Apalagi melihat mereka yang rela berbondong — bondong mengantre dari dini hari untuk mendapatkan boneka Labubu yang harganya berkisar antara Rp 300 ribu hingga jutaan.
Salah satu kritik diunggah oleh salah satu pengguna X, @shandya di akun miliknya. Ia mengomentari mirisnya antrean pemburu Labubu yang berakhir ricuh karena hal tersebut bertolak belakang dengan banyak anak — anak yang hanya bisa membuat versi DIY (do it yourself) Labubu karena tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli boneka monster tersebut.
Cuitannya ini mendapatkan eksposur sebesar 6,5 juta, 30 ribu likes, 12 ribu retweets dan 1,8 ribu replies. Engagement yang cukup tinggi ini menandakan jika banyak masyarakat yang senada dengan penadapat Shandya tersebut.
Komentar kritis juga dating dari netizen lainnya yakni William Giovanni melalui akun X miliknya @WilliamGiovani.
Giovanni mengungkapkan kekhawatirannya terhadap fenomena Labubu yang sedang terjadi di Indonesia. Harga yang sudah dimonopoli oleh banyak pihak membuat Labubu dijual dengan kisaran harga yang lebih mahal dari harga aslinya. Harga yang tadinya berkisar antara Rp 230.000 bahkan sudah dinilai terlalu mahal untuk harga sebuah gantungan kunci boneka. Tentunya, fenomena maraknya Labubu di Indonesia ini menimbulkan pertanyaan lain. Apakah daya beli masyarakat sudah membaik di tengah resesi yang sedang terjadi sekarang melihat Labubu tergolong kedapal kebutuhan tersier? Atau, apakah dengan hadirnya Labubu dan action figures lainnya merupakan tanda lain jika budaya konsumerisme semakin menjamur di masyarakat?
Tren Labubu dan Konsumerisme
Tren Labubu, sebagai karakter yang populer dalam dunia mainan, merupakan penanda jika popularitas mainan koleksi atau action figures terus meningkat, terutama di pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bentuk Labubu yang juga digunakan sebagai bag charms atau gantungan tas merupakan salah satu bentuk konsumerisme yang menarik karena menggabungkan fungsionalitas dengan elemen mode dan personalisasi.
Dengan harga yang cukup mahal untuk sebuah gantungan tas yang jauh melampaui dari fungsi utamanya, tentunya memberikan label tersendiri bagi Labubu, yang kemudian dapat dilihat sebagai simbol konsumerisme. Adapula faktor lain yang melihat Labubu sebagai konsumerisme masa kini atau modern adalah:
1. Eksklusif dan Langka
Labubu atau action figures lainnya sering kali dirilis dalam edisi terbatas, yang menciptakan rasa kelangkaan dan mendesak konsumen untuk segera membeli sebelum produk habis. Dalam konteks konsumerisme, kelangkaan ini meningkatkan nilai produk dan mendorong perilaku konsumtif di mana konsumen merasa perlu memiliki barang tersebut segera.
Hal ini dapat dilihat dari antrean mengular masyarakat di lokasi Pop Mart terbaru di Mal Gandaria City untuk berlomba mendapatkan Labubu dengan stok terbatas. Masyarakat bisa saja bersabar membeli Labubu di lain hari agar tidak perlu susah payah mengantre. Akan tetapi, mereka takut akan risiko kehabisan stok Labubu terbaru apabila mereka memutuskan membeli di lain hari.
2. Komodifikasi Seni
Labubu tidak hanya dilihat sebagai mainan tetapi juga sebagai karya seni yang bisa dikoleksi. Ini mencerminkan bagaimana dalam konsumerisme modern, seni menjadi komoditas yang bisa dijual dan dikoleksi, sering kali dengan harga tinggi dan dalam edisi terbatas, mirip dengan barang-barang mewah lainnya, seperti barang antic maupun lukisan.
Hal ini dapat dilihat dari Labubu yang dijual dengan konsep blind box. Atau dengan kata lain, pembeli tidak tahu tipe Labubu yang mana yang akan mereka dapatkan. Selain itu, Labubu juga memiliki series yang dijual terbatas. Ini merupakan faktor pendorong bagi masyarakat untuk bergegas membeli Labubu untuk dapat mengoleksi semua series Labubu.
3. Identitas, Komunitas, dan Media Sosial
Memiliki Labubu sering kali dilihat sebagai bagian dari identitas dan gaya hidup. Masyarakat memiliki Labubu sebagai cara untuk menunjukkan minat mereka pada seni, desain, dan tren terkini, Hal ini dilihat sebagai simbol status dan hobi.
Selain itu, sebagai bagian dari fenomena budaya pop atau pop culture yang lebih luas, Labubu mencerminkan bagaimana konsumerisme modern tidak hanya tentang membeli dan memiliki produk, tetapi juga tentang menjadi bagian dari komunitas.
Tentunya, kepemilikan Labubu bagi masyarakat sering kali diiringi dengan rasa bangga sebagai bagian dari komunitas penggemar dan kolektor Labubu. Kemudian penggemar berlomba memamerkan koleksi mereka di platform seperti Instagram dan TikTok, yang menciptakan hype dan mendorong orang lain untuk membeli. Ini juga membuat Labubu semakin dikenal di masyarakat.
Ramainya Perbincangan Labubu di Media Massa
Fenomena semakin diminatinya Labubu di Indonesia, tentunya tidak lepas dari sorotan media massa. Selama periode satu minggu dari tanggal 12 September hingga 19 September 2024, pemantauan dilakukan menggunakan Newstensity dengan memasukkan kata kunci utama “Labubu” dan ditemukan total 544 pemberitaan.
Dari grafik tersebut, terlihat jika pemberitaan tentang Labubu mulai merangkak naik dari tanggal 15 September dan memuncak di tanggal 17 September 2024. Hal ini bertepatan dengan dijualnya Labubu secara offline di Pop Mart Mal Gandaria City awal pekan ini.
Meskipun mendapatkan respons yang beragam dari masyarakat, pemberitaan terkait Labubu di media massa mendapatkan sentimen berita yang cukup positif. Hal ini dapat dilihat dari grafik sentimen di bawah yang didominasi oleh sentimen positif dengan 368 berita, sentimen netral dengan 24 berita, dan pemberitaan negatif dengan 152 berita.
Dari keseluruhan sentimen pemberitaan, total sentimen negatif didominasi oleh berita yang berfokus pada fomo-nya (fear of missing out) masyarakat sehingga mendorongnya untuk membeli Labubu meskipun dengan harga yang sangat mahal atau di atas harga awal. Pemberitaan negatif lain berfokus pada ricuhnya antrean pembeli Labubu karena Pop Mart sempat menyatakan Labubu sold out ketika antrean konsumen masih mengular panjang.
Dari grafik persebaran berita di atas terlihat jika pemberitaan di media nasional tidak jauh berbeda dengan pemberitaan media daerah. Dari total 544 berita, terdapat total 299 pemberitaan oleh media nasional dan 239 pemberitaan oleh media daerah. Hal ini menunjukkan jika fenomena Labubu tidak hanya dibahas oleh media nasional di kota — kota besar saja. Akan tetapi isunya menyebar secara menyeluruh ka daerah yang dapat dilihat dari tingginya pemberitaan oleh media daerah.
Hebohnya Labubu Menjadi Fokus Perbincangan di Media Sosial
Selain di media massa, Labubu menjadi perbincangan yang panas di media sosial. Pemantauan dilakukan menggunakan Socindex dalam periode 12–19 September 2024 dengan memasukkan kata kunci utama “Labubu”. Dari grafik di bawah, terlihat jika Instagram dan juga X merupakan 2 platform media sosial yang paling banyak membahas Labubu.
Twitter atau X menduduki peringkat pertama yang mengekspos Labubu dengan jumlah 5.582 cuitan diikuti oleh Instagram dengan 3.185 unggahan.
Berfokus lebih jauh pada media sosial X atau Twitter, dengan total cuitan 5.582, topik Labubu mendapatkan engagement sebesar 824.541, 651.990 applause, audience sekitar 3 juta, dan berpotensi mendapatkan buzz reach sebesar 76 juta.
Tidak jauh berbeda dengan persebaran berita di media massa yang memuncak pada tanggal 17–18 September, cuitan netizen X mulai merangkak naik di tanggal 15 September 2024 dan memuncak di tanggal 16–18 September 2024.
Dalam periode tersebut, salah satu unggahan netizen yang mendapat respons paling banyak adalah cuitan yang diunggah oleh akun @whitefxngg. Cuitannya dilihat oleh kurang lebih 4,9 juta netizen, mendapat 96 ribu likes, 16 ribu retweets, dan 2.100 replies.
Dalam cuitannya, ia mengunggah sebuah foto dengan DIY Labubu bikinan kedua adiknya. Ia menjelaskan jika harga Labubu yang mahal menjadi penghalang baginya untuk membelikan boneka tersebut bagi kedua adiknya.
Dari cuitan ini, kentara sekali apabila Labubu merupakan salah satu bentuk konsumerisme yang hanya bisa dibeli oleh kalangan masyarakat tertentu saja. Harga yang relatif mahal dan daya beli masyarakat yang berbeda tentu menjadi pembeda antara Labubu dengan mainan atau gantungan tas lainnya.
Dari pantauan Socindex, terlihat jika pembicaraan fenomena Labubu di media sosial terutama X berjalan secara organik. Secara keseluruhan, unggahan pada X terlihat didominasi oleh human yang dapat diartikan sebagai akun asli dan aktif, yang melebihi unggahan yang dibuat oleh bot, baik robot maupun cyborg.
Sedikit berbeda dari segi sentimen, cuitan di media sosial X secara garis besar didominasi oleh cuitan bersentimen netral. Topik yang mendominasi cuitan netral di X tersebut berisi seputar bagaimana Labubu akhirnya bisa masuk dan viral di Indonesia. Sedangkan, sentimen negatif berisi seputar antrean pembelian Labubu yang berakhir ricuh pada malam hari di depan Pop Mart Gandaria City. Selain itu, mahalnya harga Labubu juga mendapatkan respons negatif dari warganet yang melihat hal ini dapat menjadi faktor kesenjangan sosial antara kelompok masyarakat tertentu.
Epilog
Bagi masyarakat umum, antrean panjang untuk mendapatkan satu action figure dianggap hal yang tidak biasa. Apalagi barang yang diburu pun tergolong tidak murah. Namun, bagi para penggemarnya, koleksi action figure adalah sebuah kebahagiaan. Bisa mendapatkan satu karakter adalah kebahagiaan tersendiri. Mereka tentu rela antre berjam-jam untuk mendapatkan action figure melengkapi koleksinya. Tak terkecuali para pengoleksi Labubu yang kini sedang viral. Bagi mereka, konsumtif untuk urusan ini tidak masalah.
Namun, konsumtif harus tetap rasional. Jangan sampai hanya gara-gara Labubu kemudian terjebak pinjol. Alih-alih bahagia karena action figure, bisa-bisa nelangsa karena terjebak utang.