Sembilan bulan pasca-memilih kepala negara, pada 27 November masyarakat Indonesia akan kembali mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih kepala daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota.
Ini adalah pertama kali Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan secara serentak sesuai dengan amanat pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Legislasi ini menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Tulisan kali ini akan mengulas tentang pilkada di tingkat provinsi atau Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub). Pilgub akan berlangsung di 37 Provinsi. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi satu-satunya yang tidak melakukan Pilgub karena jabatan gubenur diisi oleh raja Keraton Yogyakarta yang sedang bertahta sesuai Undang Undang Keistimewaan DIY.
Ada 103 pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur (Paslon Cagub Cawagub) yang akan bertanding di 37 provinsi tersebut. Jumlah tiap paslon berbeda-beda di tiap daerah. Tetapi jumlah paslon yang paling banyak adalah 2 paslon, terjadi di 16 provinsi. Di sisi lain, ada kutub ekstrem. Ada satu daerah melawan kotak kosong atau hanya ada 1 paslon yakni Papua Barat. Tapi di kutub yang berbeda, ada yang memiliki 5 paslon yakni Papua Barat Daya.
Penurunan ambang batas (parliamentary threshold) pencalonan kepala daerah dari 20 persen menjadi 7,5 persen melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 membuka kesempatan lebih banyak partai dan calonnya untuk berkompetisi di arena Pilkada. Meski demikian, dari observasi yang dilakukan, banyaknya calon yang maju tampak terlihat di provinsi baru. Sebanyak 4 provinsi yang baru dibentuk pada tahun 2022 yakni Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan memilik cagub dan cawagub yang cukup banyak yakni 4–5 paslon.
Jawa Terang, Papua Gelita
Meski digelar serentak, magnet tiap pilkada berbeda-beda. Biasanya, semakin strategis daerah, lampu sorot terhadap proses pilkadanya kian terang. Strategis tidaknya suatu daerah tentu banyak parameternya. Beberapa yang bisa dicatat antara lain, kepadatan penduduk, pusat perekonomian dan pemerintahan, potensi investasi, potensi sumber daya, dan lain sebagainya.
Dengan menggunakan media monitoring Newstensity, Jangkara Data Lab akan mengukur seberapa terang dan gelitanya sorot media terhadap paslon cagub-cawagub di 37 provinsi di Indonesia. Kata kunci yang digunakan adalah 206 nama cagub dan cawagub di tiap daerah dan disaring lagi dengan kata kunci pilkada dan pilgub, sehingga fokus pemberitaan hanya yang terkait dengan pilkada. Monitoring dilakukan pada 17.544 media online, 437 media cetak, dan 176 media elektronik (TV dan radio). Periode pemantauan dilakukan sejak hari pertama pendaftaran calon 24 Agustus 2024 hingga 30 September 2024.
Dari hasil riset diketahui DKI Jakarta menjadi provinsi yang Pilkadanya paling banyak disorot media. Tentu hal ini tidak mengejutkan. Provinsi ini terus menjadi episentrum. Meski tidak lagi berstatus sebagai ibukota negara, tapi pusat ekonomi dan pemerintah masih berlangsung di sana. Pun, mereka yang nantinya memimpin provinsi tersebut, berpeluang besar untuk masuk bursa pencalonan presiden dan wakil presiden di 2029.
Posisi lima tertinggi diduduki oleh seluruh provinsi di Pulau Jawa. Pulau Jawa memang strategis. Salah satunya karena kepadatan penduduknya. Jumlah pemilihnya saja pada Pilpres 2024 mencapai 115 juta, atau lebih dari setengah total pemilih yang mencapai 204 juta pemilih.
Dari data Top 10 provinsi paling disorot tersebut, mari kita lihat popularitas masing-masing calon di media.
Bila Pulau Jawa begitu terang sorotnya, pulau paling timur Indonesia begitu gelita. Tidak banyak media yang memberikan perhatian pada Pilkada di pulau ini. Khususnya untuk provinsi-provinsi muda yang baru berdiri 2 tahun terakhir. Seluruh Pilgub yang berlangsung di Papua menjadi yang paling tidak disorot oleh media. Provinsi-provinsi muda bercokol di posisi teratas. Hal ini menunjukkan media tidak terlalu memperhatikan proses demokrasi di timur Indonesia.
Pramono-Rano Paling Diberitakan
Pada periode 24 Agustus — 30 September 2024, paslon cagub dan cawagub DKI Jakarta Pramono Anung dan Rano Karno paling banyak diberitakan media. Meski banyak diberitakan, pemberitaan tersebut tidak serta merta fokus kampanye paslon tersebut. Pemberitaan lebih berfokus pada majunya Pramono Anung secara mendadak menggantikan Anies Baswedan yang sebelumnya digadang-gadang akan maju lewat PDI Perjuangan setelah ditinggalkan oleh PKS yang memutuskan merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengusung Ridwan Kamil dan Suswono. Melesatnya pemberitaan Pramono-Rano tidak lepas dari efek Anies. Puncak pemberitaan terkait isu ini terjadi pada 28 Agustus 2024.
Bila dilihat dari grafik di atas, lagi-lagi semua paslon yang paling banyak diberitakan berasal dari kontestasi Pilkada di Pulau Jawa. Hanya Andi Sudirman Sulaiman yang berasal dari luar jawa. Ia adalah calon dari Sulawesi Selatan. Andi merupakan pertahana, ia adalah gubernur definitif 2022–2023 sekaligus adik dari Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Berita banyak muncul saat pendaftaran dan penentuan nomor urut. Pemberitaan menyangkut perihal, dukungan, kampanye, elektabilitas, hingga isu poligami yang menimpa Andi Sudirman Sulaiman.
Di sisi lain, 10 cagub-cawagub yang paling tidak populer berasal seluruhnya berasal dari Papua. Semuanya adalah cagub-cawagub di 4 provinsi termuda di Indonesia.
Pertahana Ternyata Tidak Lebih Populer
Pertahana kembali berlaga di 23 provinsi. Dalam konteks riset ini, pertahana tidak berarti yang sedang memegang jabatan ketika berlaga. Tetapi mereka yang sebelumnya memegang jabatan sebagai gubernur atau wakil gubernur definitif. Hal ini karena Pilkada serentak membuat sejumlah gubernur habis jabatan sebelum 2024 dan harus menunggu untuk kembali ikut kontestasi beberapa tahun kemudian. Kekosongan jabatan tersebut diisi oleh Penjabat Gubernur yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
Contohnya, I Wayan Koster menjabat sebagai Gubernur Bali pada periode 2018–2023. Tapi, ia harus menunggu setahun untuk bisa kembali berlagi dalam Pilkada 2024. Kini, ia menjadi pertahana yang melawan Made Mulyawan Arya.
Dari 23 provinsi yang memiliki calon pertahana, hanya 52 persen yang mendapatkan publikasi yang lebih unggul dibandingkan lawannya. Ada kemungkinan, lamanya masa “libur” karena setelah habis masa jabatan membuat pertahana tidak memiliki fasilitas lagi untuk meningkatkan citranya di media. Mereka tidak lagi menjabat sebagai gubernur selama beberapa tahun, sehingga tidak bisa diliput untuk kegiatan Pemerintah Provinsi misalnya. Mereka juga tidak bisa mengambil kredit dari bantuan gubernur atau bantuan pemerintah daerah menjelang Pilkada karena sudah habis masa jabatannya.
Dari 12 calon pertahana yang masih relatif unggul publikasinya, yang paling populer adalah Khofifah Indra Parawansi dari Jawa Timur. Ia menjadi yang paling menonjol di Jawa Timur mengalahakn Tri Rismaharini dan Luluk Nurhamida, tetapi juga yang paling populer di antara calon pertahana dari provinsi lain.
Epilog
Riset pemberitaan ini menunjukkan bahwa media di Indonesia masih pilih-pilih dalam menyorot proses demokrasi di daerah. Analisis kuantitatif pemberitaan menunjukkan bahwa sorotan media masih lebih terang di Jawa, sementara gelita di timur Indonesia. Sorotan media tentang Pilkada khususnya di daerah menjadi penting, untuk mengingatkan bahwa proses ini dipantau oleh publik. Sehingga, idealnya pantauan itu bisa membuat pelaksaannya dilakukan dengan sebagaimana mestinya.