Besar. Gemuk. Jumbo. Super. Gemoy. Sebutkan apapun itu untuk melabeli sebuah entitas yang sifatnya lebih besar dari ukuran rata-rata, termasuk Kabinet Merah Putih yang baru saja dirilis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kabinet Merah Putih memiliki 48 kementerian, terdiri dari 7 kementerian koordinator dan 41 kementerian teknis. Sifat alami sesuatu yang besar adalah kebutuhan energi untuk menghidupinya jauh lebih banyak ketimbang ukuran normal. Dalam konteks ini, pembiayaan kabinet gemoy besutan Prabowo membutuhkan pendanaan ekstra ketimbang kabinet sebelumnya.
Pengumuman resmi pemerintah yang disampaikan Prabowo pada malam hari 20 Oktober 2024 setelah dirinya dilantik menjadi presiden menyebutkan ada 109 menteri dan wakil menteri serta lima kepala lembaga negara setingkat menteri yang menghiasi kabinet. Rinciannya adalah 53 menteri termasuk 7 menteri koordinator (menko), 56 wakil menteri, dan lima kepala lembaga setingkat menteri. Bandingkan dengan Kabinet Indonesia Maju periode kedua besutan Joko Widodo yang hanya diisi 51 pejabat menteri dan wakil menteri. Angkanya naik hampir 100 persen.
Postur supergemuk ini ditengarai akan memberatkan langkah Presiden Prabowo dalam memimpin negara, apalagi mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti yang dicanangkan saat masa kampanye. Belum lagi risiko fiskal berupa beban baru Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sudah terhimpit utang jatuh tempo, serta risiko kelambanan birokrasi karena kompleksitas lembaga dan pembagian wewenang. Akankah sang gajah bisa bergerak lincah?
Ancaman Pada APBN
Pasca-pengumuman kabinet, lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) sudah merilis kajian sikap terhadap kabinet baru. Semakin banyak menteri dan wakil menteri, maka semakin besar pengeluaran untuk gaji, tunjangan, insentif, pembayaran gaji staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas dan pembangunan gedung, serta pembayaran pensiun para menteri dan wakil menteri.
Menurut hitungan Celios, dengan memperhitungkan beban biaya gaji, tunjangan, dan operasional menteri dan wakil menteri era Jokowi yang sebanyak 51 orang [NQP1] [KR2] dengan estimasi nilai Rp 387,6 miliar per tahun. Sedangkan era Prabowo dengan estimasi 108 orang [NQP3] (menteri, wakil menteri dan kepala lembaga negara) menjadi Rp 777 miliar per tahun maka ada peningkatan anggaran Rp 389,4 miliar per tahun dari kabinet era Jokowi setiap tahunnya dengan asumsi nilai gaji dan tunjangan tetap sama. Selama lima tahun, pembengkakan yang muncul mencapai Rp 1,95 triliun.
Ini belum memperhitungkan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan fasilitas baru. Di sisi lain, pemecahan nomenklatur kementerian membuat pos eselon juga membengkak sebagai dampak adaptasi kementerian yang dipisah. Posisi eselon bertambah, seirama dengan pembayaran gaji, tunjangan, belanja barang/jasa, dan perjalanan dinas.
Dampak paling nyata adalah pembengkakan anggaran operasional, khususnya belanja pegawai pemerintah pusat. Belanja ini meliputi gaji dan pensiun aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk menteri dan kepala lembaga negara. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan memperkirakan terjadi peningkatan belanja pegawai 20 persen hingga 30 persen. Pada APBN 2025, estimasi belanja pegawai ditetapkan Rp 513,2 triliun atau setara dengan 19,1 persen, sedangkan belanja barang Rp 342,6 triliun atau setara dengan 12,7 persen dari total belanja pemerintah pusat. Angka ini berpotensi melebar antara 20–30 persen sesuai perkiraan Misbah karena APBN masih menggunakan asumsi awal 34 kementerian.
Gambaran lebih mendetail disampaikan Dewan Pengarah Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam kepada media. Roy menyebut menteri dan wakil menteri memperoleh gaji, tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan kesehatan, dan lainnya. Belum lagi fasilitas yang harus disediakan, seperti sopir, ajudan, rumah dinas, dan kendaraan dinas.
Apabila mengacu pada standar gaji menteri keuangan yang tunjangan kinerjanya sudah mencapai 100 persen, pendapatan yang diperoleh tiap bulan mencapai Rp 150 juta hingga Rp 200 juta. Sementara wakil menteri memperoleh Rp 80 juta hingga Rp 100 juta atau bahkan Rp 150 juta. Roy bahkan sudah menghitung besaran anggaran untuk membayar take home pay (THP) menteri yang mencapai Rp 137,8 miliar per tahun. Sementara anggaran untuk membayar THP wakil menteri berkisar Rp 70 miliar hingga Rp 80 miliar.
Beban belanja pegawai Indonesia terus membengkak dari tahun ke tahun. Pada 2004, gaji pegawai negeri di Indonesia hanya menyita 13% dari penerimaaan negara. Proporsi ini terus membengkak hingga menghabiskan 19% penerimaan negara, pada 2021, kemudian 19,1 persen untuk APBN 2025 (asumsi 34 kementerian).
Bank Dunia mencatat, semakin maju suatu negara, porsi biaya pegawainya cenderung semakin rendah karena efisiensi pekerjaan. Ini tampak dari data rasio belanja pegawai dengan total belanja pemerintah di sejumlah negara. Rasio 19,1 persen terhitung besar. Pada 2020, rasio belanja pegawai Indonesia dan Singapura masih mirip-mirip dengan 14,8 persen (Indonesia) dan 14,3 persen (Singapura). Negara Asia Tenggara lain bahkan rasionya lebih buruk. Thailand mencapai 23,8 persen, Malaysia 31,7 persen, Filipina 33,5 persen, dan Kamboja 42,9 persen. Pada tahun yang sama, negara maju seperti Amerika Serikat rasionya hanya 7 persen, Jerman 5,4 persen, dan Jepang 4,4 persen.
Potensi beban tambahan bagi APBN masih diperhitungkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Struktur APBN sudah cukup berat, apalagi ada utang jatuh tempo sebesar Rp 800,33 triliun pada 2025. Rinciannya Rp 705,5 triliun berupa Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 94,83 triliun berupa pinjaman. Melihat rekam jejak Sri Mulyani, bukan tidak mungkin utang akan kembali diambil sebagai langkah menutup defisit anggaran.
Indikasi ini muncul dari penunjukan kembali Sri Mulyani sebagai menteri keuangan. Memang belum ada menteri keuangan sekaliber Sri Mulyani di lingkaran dekat Prabowo. Reputasinya di dunia moneter internasional juga cukup moncer. Nama besar Sri Mulyani bisa menjamin keamanan fiskal Indonesia termasuk dalam pencarian utang keluar negeri.
Efek turunan dari gemuknya kabinet yang menyedot anggaran adalah potensi berkurangnya anggaran yang bersifat dasar seperti anggaran pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, subsidi energi, dan lain-lain. Pos-pos yang menyentuh kehidupan publik ini terancam dipangkas untuk memberi ruang di APBN. Apalagi, Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka sudah memiliki program unggulan kampanye yang harus ditepati.
Presiden Prabowosudah menetapkan program prioritas “Quick Win” atau Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) untuk tahun 2025. Total anggaran untuk program Quick Win itu mencapai lebih dari Rp100 triliun. Program itu antara lain makan siang bergizi gratis yang mendapat pagu anggaran Rp 71 triliun di APBN 2025. Kemudian pemeriksaan kesehatan gratis untuk pemeriksaan tensi, gula darah, foto rontgen, dan screening penyakit katastropik dengan dukungan anggaran Rp3,2 triliun, penuntasan TBC dengan anggaran Rp 8 triliun, pembangunan rumah sakit lengkap di daerah dengan anggaran Rp 1,8 triliun, renovasi sekolah sebesar Rp 20 triliun, membangun sekolah unggulan terintegrasi sebesar Rp 4 triliun, dan membangun lumbung pangan nasional sebesar Rp 15 triliun.
Program di atas belum mencakup warisan Jokowi seperti pembangunan IKN yang masih jauh dari kata selesai. Tanpa perencanaan matang dan pengelolaan yang berintegritas, APBN bisa saja tersedot untuk belanja yang tidak memiliki dampak langsung ke masyarakat. Pada akhirnya, target pertumbuhan ekonomi 8 persen sulit untuk dicapai.
Semakin Besar, Semakin Lamban
Sulit untuk membayangkan kabinet raksasa ini melangkah lincah seperti arahan Presiden Prabowo. Malahan, kabinet ini akan bergerak lamban karena rumitnya mengkoordinasikan wewenang dan panjangnya rantai birokrasi. Banyaknya anggota kabinet akibat politik akomodatif Prabowo akan menyulitkan pengambilan keputusan dalam waktu cepat.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menilai lambannya birokrasi akan membawa inefisiensi. Ia memprediksi dalam 1–2 tahun ke depan kementerian justru disibukkan dengan masalah koordinasi dan sinkronisasi sebelum bisa mengeksekusi program secara maksimal.
Para menteri dan menko yang ditunjuk harus segera melakukan sinkronisasi program antarkementerian. Kendala yang bisa saja muncul adalah ritme kerja yang berbeda di setiap kementerian. Jika ini terjadi, maka menko di sektor tersebut harus mengintervensi agar sinkronisasi cepat terjadi dan program segera berjalan. Hal lain yang patut diperhatikan adalah karier para ASN yang meniti dari bawah. Jalan karier mereka bisa terhambat lantaran banyaknya nama baru yang masuk karena faktor kedekatan dengan penguasa. Jika tidak dimitigasi, profesionalisme ASN bisa berkurang.
Secara global, menurut catatan Bank Dunia indeks efektivitas pemerintahan Indonesia berada di posisi 73 dari 214 negara dengan skor 66,04 pada tahun 2023. Indeks ini mengukur parameter efektivitas, antara lain kualitas layanan publik, derajat independensi birokrasi terhadap intervensi politik, kualitas formulasi kebijakan, dan kredibilitas pemerintah. Skor tersebut, meski tumbuh dari 64,76 pada 2022, masih terhitung biasa saja. Namun, skor itu sudah mengindikasikan proses reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintahan Jokowi berada di jalur yang tepat.
Harus diakui, hingga fase awal periode kedua pemerintahan Jokowi, reformasi birokrasi yang dikomandoi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi berjalan cepat. Jokowi tercatat melikuidasi 33 lembaga negara. Ada yang dibubarkan, dan ada yang diintegrasikan ke kementerian atau lembaga lain yang serumpun. Tujuannya melakukan penyederhanaan birokrasi agar lebih efisien, meningkatkan profesionalitas ASN, dan mewujudkan good corporate governance (GCG).
Strategi ini sukses meningkatkan efisiensi pemerintahan yang terefleksi pada laporan Governance Indicators oleh Bank Dunia. Peta jalan ini bukan tanpa cela, rangkaian pembentukan berbagai lembaga baru di ujung pemerintahan Jokowi untuk mengakomodasi program Presiden Prabowo menjadi noda reformasi birokrasi. Paling kentara adalah Badan Gizi Nasional dan Kantor Komunikasi Kepresidenan. Di luar lembaga warisan Jokowi, pembengkakan kabinet ini berpotensi menjadi langkah mundur keberhasilan reformasi birokrasi.
Analisis media
Sepekan terakhir, perhatian media tersita ke proses pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming pada 20 Oktober 2024 yang diikuti pengumuman Kabinet Merah Putih pada malam harinya. Sepanjang Senin hingga Rabu kemarin, prosesi pelantikan menteri, wakil menteri, kepala lembaga negara, dan para utusan khusus masih menghiasi media massa.
Newstensity merekam pemberitaan ini dengan kata kunci “kabinet Prabowo” dan “Kabinet Merah Putih” antara 19–24 Oktober 2024, berhasil menemukan 30.374 berita di media massa. Linimasa berita menunjukkan 21 Oktober sebagai puncak pemberitaan dengan capaian hingga 10ribuan berita yang membahas pelantikan presiden, pengumuman menteri, dan pelantikan menteri di Istana Negara.
Volume berita berangsur-angsur turun, akan tetap stabil di kisaran 3.500–5.000 berita per hari. Terakhir, isu yang mendominasi Kabinet Merah Putih adalah pembekalan para menteri dan wamen di Lembah Tidar milik Akademi Militer Tentara Nasional Indonesia (Akmil TNI). Media menyoroti keberangkatan para menteri dan tempat menginapnya yang lebih mirip glamour camping.
Distribusi pemberitaan banyak dilakukan oleh media mainstream nasional. Seperti tampak pada chart di atas, sepuluh media paling dominan adalah media online nasional dengan kompas.com sebagai yang teratas dengan 721 berita. Kemudian diikuti media nasional lain seperti detik.com, idntimes.com, dan tempo.co.
Di sisi lain, meski postur kabinet Prabowo banyak dikritik, mayoritas sentimen media massa justru positif. Sebanyak 85 persen pemberitaan memiliki narasi positif seperti ucapan selamat kepada menteri terpilih, proses pelantikan, program-program yang disampaikan, dan profil tokoh.
Pemberitaan negatif yang ditemukan hanya sebanyak 11 persen atau 3.398 berita. Mayoritas berasal dari kritikan pengamat yang menyebut kabinet ini terlalu besar dan berpotensi membebani anggaran. Postur kabinet juga ditengarai membuat birokrasi semakin lamban. Hal yang sudah dikeluhkan Prabowo di Sidang Paripurna Kabinet pertamanya.
Dari analisis media sosial menggunakan big data Socindex, isu ini mendapat respons yang beragam di X dan Instagram. Pengumuman kabinet meraup lebih banyak likes di Instagram dengan 2,7 juta applause berbanding 332 ribu likes di media sosial X. Sebaliknya, warganet di X lebih vokal mengomentari dengan 20 ribu talks berbanding 18,8 ribu talks di Instagram.
Dari analisis aktor, unggahan tokoh terverifikasi di Instagram menjadi yang paling banyak mendapat likes. Unggahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gibran, dan Najwa Shihab kompak menduduki posisi teratas sebagai unggahan yang paling banyak mendapat likes. Sebaliknya di X, justru unggahan akun @HoldenKlasik yang paling banyak mendapat likes dengan 48 ribu likes. Padahal akun ini lebih berfokus ke isu otomotif dengan 157 ribu pengikut. Sepertinya, kecepatan cuitan yang diunggah tidak lama pasca-pengumuman menjadi nilai tambah sehingga menjadikannya sebagai top likes.
Penutup
109 menteri dan wakil menteri adalah rekor bagi Indonesia. Kabinet Merah Putih menjadi kabinet dengan anggota terbanyak selama Republik ini berdiri. Anggaran sudah pasti membengkak. Presiden Prabowo harus memitigasi APBN tidak terbebani sembari memastikan birokrasi tidak semakin lamban. Jika ketakutan para pengamat benar, Prabowo harus berani membuktikan gertakannya, memecat menteri yang tidak bisa bekerja.