Di tahun 2021, kala menjabat sebagai Walikota Solo, Gibran Rakabuming membuat layanan bernama Lapor Mas Wali. Warga Solo bisa menyampaikan aduan langsung lewat nomor Whatsapp (WA) 081225067171 maupun melalui akun Instagram dan akun Twitter pribadi Gibran. Kerusakan jalan, lampu mati, konflik antar-tetangga, perilaku arogan aparat, akses kesehatan, dan urusan keseharian lainnya adalah jenis aduan yang kerap disampaikan masyarakat.
Gibran menampik bahwa ini layanan ini adalah pencitraan. Lapor Mas Wali, menurut Gibran, bertujuan untuk mempermudah masyarakat menyampaikan aduan. Asumsinya, jika Walikota yang meminta pihak dinas untuk menyelesaikan masalah warga, penanganannya bisa lebih cepat. Dalam banyak kejadian, penanganan dilakukan dalam 24 jam.
Pada kasus Lapor Mas Wali, aduan yang diterima berjumlah ribuan dalam kurun waktu tiga bulan. Dari data Diskominfo SP Kota Solo, dalam triwulan III 2022 (Juli, Agustus, dan September) terdapat 2.585 aduan, baik yang dari WA, situs web, maupun media sosial Gibran. Adapun aduan terbanyak dialamatkan ke Dinas Sosial (446 aduan), Dinas Perhubungan (207 aduan), Dinas Pendidikan (194 aduan), Dinas Kesehatan (171 aduan), dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (154 aduan).
Kini, program level kotamadya tersebut direplikasi Gibran saat dia menjadi Wakil Presiden (Wapres). Pada 10 November 2024 malam, lewat Instagram pribadinya @gibran_rakabuming, ia mengumumkan akan meluncurkan Lapor Mas Wapres.
Lapor Mas Wapres membuka dua jalur pengaduan yakni melalui nomor WA 081117042207 dan datang langsung ke Istana Wapres pada hari Senin hingga Jumat pukul 8.00–14.00 WIB. Berbeda dengan Lapor Mas Wali, Lapor Mas Wapres tidak membuka jalur aduan lewat media sosial.
Di hari pertama pembukaannya, Lapor Mas Wapres cukup mendapat antusiasme warga. Para staf di Istana Wapres menerima 55 aduan warga yang berasal dari berbagai daerah seperti Jabodetabek, Surabaya, Makassar, hingga Manado. Namun, ada juga warga yang merasa kecewa karena tidak mendapat antrean dan harus kembali keesokan harinya jika ingin menyampaikan pengaduan. Sebab dengan jadwal buka hanya pukul 8.00–14.00 WIB, Lapor Mas Wapres hanya menyediakan kuota 50 aduan langsung per hari. Aduan yang diterima di hari pertama pun beragam, dari mahasiswa yang mengadukan terkena skors massal hingga masalah ekonomi warga yang tidak bisa menebus ijazah anak karena ketiadaan biaya.
Pihak Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) menyampaikan aduan masyarakat akan dianalisis terlebih dahulu. Setelahnya, baru akan disampaikan ke pihak yang bertanggung jawab, baik kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah. Aduan dari masyarakat akan diproses Setwapres selama 14 hari. Selanjutnya, masyarakat juga bisa mengecek progresnya melalui situs web setwapres.lapor.go.id. Saat artikel ini ditulis (14/11/2024) atau tiga hari setelah Lapor Mas Wapres diluncurkan, website tersebut dalam status pemeliharaan (maintenance).
Efektivitas dan Efisiensi Jadi Tantangan
Bila Lapor Mas Wapres ingin dijalankan dengan serius, para penyelenggara tentu harus memahami sejumlah tantangan yang akan dihadapi. Beberapa di antaranya adalah manajemen keramaian, efisiensi penanganan aduan, timpang tindih organisasi, volume aduan membludak dan aduan beragam, serta tingkat ekspektasi.
Manajemen keramaian (crowd management) menyangkut banyaknya warga yang datang ke Kompleks Istana Wapres. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian. Meskipun kuota aduan tiap hari relatif sangat kecil, tapi akan selalu ada potensi kunjungan membludak.
Selanjutnya efisiensi penanganan aduan. Ada banyak tempat pengaduan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Seperti lewat aplikasi LAPOR yang diinisiasi Presiden Joko Widodo, DPR/DPRD, Pemda/Inspektorat, Ombudsman, serta komisi khusus seperti Komnas HAM, KPAI, Komnas Perempuan, dsb.
Banyaknya kanal ini akan berpotensi menyebabkan redundansi atau pengulangan pekerjaan oleh lembaga yang menangani masalah. Fungsi Lapor Mas Wapres hanyalah sebagai penerima aduan, bukan yang menyelesaikan masalah. Mungkin saja sebelum Lapor Mas Wapres menyampaikan aduan, aduan yang sama sudah disampaikan ke kanal pengaduan lain. Sehingga organisasi yang menerima aduan untuk diselesaikan berpotensi menerima aduan yang sama berkali-kali.
Hal ini berkesinambungan juga dengan tantangan timpang tindih organisasi. Selain redundasi penanganan di satu lembaga, bisa jadi juga satu masalah ditangani beberapa lembaga, sehingga tidak efisien.
Kemudian jumlah aduan yang membludak dan isi aduan yang terlalu beragam juga perlu diantisipasi, khususnya aduan yang masuk lewat WA. Pada hari pertama, menurut Setwapres, ada 1.000 pesan aduan yang diterima. Padahal saat di Lapor Mas Wali jumlah aduan selama tiga bulan mencapai 2.585 aduan. Apabila dikomparasikan per hari, laporan masuk di Lapor Mas Wapres 3.571,43% lebih besar dari aduan harian yang masuk ke Lapor Mas Wali. Tentu jumlah yang besar tersebut memerlukan SDM yang lebih banyak pula.
Selain itu, ragam aduan juga akan banyak yang di luar ketentuan. Setwapres mengatakan aduan yang diterima antara lain terkait dengan layanan publik, isu sosial seperti kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, serta kendala birokrasi dan administrasi. Sementara dari laporan di media sosial, sejumlah warganet mengirimkan aduan agar Wapres membongkar siapa pemilik akun Fufufafa di Kaskus. Akun Fufufafa yang dicurigai milik Gibran, mayoritas isinya adalah ujaran negatif terhadap Prabowo Subianto saat masih bersaing dengan Joko Widodo untuk mendapatkan kursi RI 1.
Terakhir adalah ekspektasi masyarakat. Masyarakat yang mengadu ke Lapor Mas Wapres tentu punya harapan tinggi bahwa masalahnya akan diselesaikan pejabat selevel wakil presiden. Bila ternyata ekspektasi tinggi tersebut tidak terpenuhi, besar kemungkinan Lapor Mas Wapres akan menjadi boomerang yang menyerang Gibran.
Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa Gibran mendahului Presiden Prabowo Subianto. Sejumlah warganet menyampaikan keresahan mereka ke akun Twitter Gerindra. Sampai-sampai, gebrakan Gibran ini dinilai langkah awal menuju Pilpres 2029. Namun, hal tersebut ditampik Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Menurutnya, Lapor Mas Wapres sudah sesuai semangat Prabowo yang ingin birokrasi tidak berbelit-belit.
Suburnya Populisme Pragmatis dan Politik Performatif
Gaya kerja Gibran mengingatkan kita pada ayahnya, Jokowi. Jokowi menggaet hati masyarakat dengan tampil dengan sosok yang populis lewat blusukannya. Meskipun di akhir jabatannya banyak masyarakat yang mempertanyakan gaya populis Jokowi dan menilainya hanya strategi politik pragmatis saja. Banyak kekecewaan yang diungkapkan banyak pihak di masa senja Pemerintah Jokowi. Misalnya Majalah Tempo merilis laporan berjudul Nawadosa Jokowi. Ditambah lagi, gaya hidup mewah dan hura-hura anak serta mantunya terekspos beberapa bulan sebelum kelengserannya.
Meski semakin banyak masyarakat skeptis terhadap populisme pragmatis, gaya ini tetap ditiru oleh Gibran. Gibran memang bukan Wakil Presiden pertama yang membuat layanan pengaduan. Wakil Presiden Indonesia Kelima Sudharmono pernah membuat Tromol Pos 5000 di tahun 1988. Masyarakat bisa mengirimkan surat pengaduan lewat kotak pos yang disediakan. Aduan yang diterima pun jauh beragam mulai dari kekecewaan atas putusan pengadilan hingga aduan tentang suami selingkuh.
Namun yang membedakan pengaduan dari dua wakil presiden ini adalah bagaimana mereka melakukan branding terhadap dua layanan yang secara hakikat sama. Bagaimanapun Gibran menampik bahwa layanan aduan ini bukan pencitraan, tapi pelabelan yang disematkan pada layanan tersebut tidak lepas dari strategi politik performatif.
Pertama, penamaan program yang merujuk kepada Gibran. Jika tidak ada agenda pencitraan, nama program tersebut akan general, merujuk pada instansi, dan tidak merujuk pada individual atau jabatan tertentu. Sudharmono tidak melabelkan nama programmnya sebagai Lapor Pak Wapres melainkan Tromol Pos 5000. Atau ketika Basuki Tjahja Purnama/Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta dan ia membuka layanan pengaduan di balai kota, nama dari layanan aduan tersebu adalah “Meja Pengaduan”, bukan Meja Pengaduan Pak Gub, atau Meja Pengaduan Pak Ahok. Mereplikasi nama dari Lapor Mas Wali menjadi Lapor Mas Wapres, ingin menegaskan portofolio populisme Gibran.
Kedua, menerima pengaduan secara langsung. Pemerintah mengelu-elukan revolusi industri 4.0 lewat digitalisasi ini dan itu. Sedianya, seluruh urusan administrasi termasuk aduan bisa diselesaikan lewat digital agar efektif dan efisien. Akan tetapi, Lapor Mas Wapres masih menerima aduan secara langsung, meskipun Gibran tidak selalu ada di situ. Tetapi, menerima aduan secara langsung tersebut bisa memberi kesan “memanusiakan manusia”. Masyarakat senang karena merasa dihargai.
Dua analisis tersebut menunjukkan Lapor Mas Wapres sebagai tindakan politik performatif. Politik performatif merupakan strategi atau pendekatan dalam politik di mana tindakan, pernyataan, atau simbol-simbol yang dilakukan oleh politisi atau pejabat lebih berfokus pada penampilan atau pencitraan daripada pada implementasi substansial atau perubahan konkret. Politik performatif menekankan aspek simbolis dan representasional, dengan tujuan untuk membentuk persepsi publik atau mengkomunikasikan dukungan terhadap isu tertentu, meskipun sering kali tidak diikuti oleh tindakan nyata atau solusi jangka panjang.
Outcome yang mungkin diharapkan dari strategi politik performatif ini adalah citra Gibran sebagai pejabat yang mendengarkan keluhan rakyat serta mencarikan solusi bagi permasalahan tersebut. Tapi outcome tersebut belum tentu bisa tercapai jika ternyata aduan-aduan yang masuk tidak bisa mendapatkan solusi yang diharapkan.
Respons Publik dan Media
Jangkara Data Lab menghimpun respons publik di media sosial terhadap layanan Lapor Mas Wapres ini. Crawling sampel data percakapan menggunakan Socindex periode 10 November 2024 pukul 19.00 hingga 13 November 2024 pukul 12.00 WIB di Twitter/X dan Instagram. Adapun kata kunci yang digunakan adalah ‘lapor wapres’, ‘lapor gibran’, ‘lapor fufufafa’, ‘aduan wapres’, ‘aduan gibran’, ‘aduan fufufafa’, ‘pengaduan wapres’, ‘pengaduan gibran’, dan ‘pengaduan fufufafa’.
Di Twitter/X, percakapan ini mendapatkan 70.414 engagement, di mana buzz reach atau potensi jangkauan konten mencapai 102,8 juta akun atau 16,8 persen dari total akun X (611,3 juta akun).
Percakapan mencapai puncaknya pada 11 November 2024 atau hari H peluncuran layanan dan percakapan menunjukkan tren menurun hari-hari setelahnya.
Berdasarkan analisis terhadap 1.239 sampel twit, respons yang paling dominan adalah warganet X menyampaikan aduannya. Aduan yang paling banyak sebenarnya cenderung negatif dan menyerang Gibran. Warganet mau Gibran mengungkap siapa Fufufafa.
Lalu bila dilihat dari sentimen percakapan, sebanyak 59 persen menunjukkan sentimen negatif atas isi ini. Untuk sentimen negatif didominasi dengan twit yang menyampaikan aduan (354 twit). Namun aduannya terkait dengan akun Fufufafa. Wapres diminta untuk membongkar akun Fufufafa (331 twit). Selanjutnya, sebanyak 288 twit mengkritik Lapor Mas Wapres. Mayoritas menganggap layanan aduan dilakukan oleh level pimpinan yang lebih mikro seperti kepala daerah, lurah, hingga RT/RW.
Sedangkan sentimen positif mencapai 37 persen dari total percakapan. Mayoritas sentimen positif adalah amplifikasi pemberitaan Lapor Mas Wapres yang berasal dari pihak Wapres (332 twit). Amplifikasi pemberitaan tersebut diunggah baik oleh akun medsos media massa maupun buzzer.
Beralih ke Instagram, crawling sampel data dilakukan pada unggahan Gibran terkait peluncuran Lapor Mas Wapres. Ada 577 komentar yang terjaring secara acak. Berbeda dengan X, sentimen di Instagram lebih positif mencapai 71 persen. Sentimen positif ini didominasi dengan respons yang mendukung Lapor Mas Wapres (273 komentar). Layanan tersebut dinilai bagus karena Gibran dianggap mengawal masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Sedangkan sentimen negatif didominasi dengan layanan aduan lewat WA (39 komentar). Komentar tersebut menyebut kalau aduan lewat WA centang satu. Normalnya bila centang satu di WA artinya nomor tersebut tidak aktif.
Adapun respons yang muncul di Instagram antara lain sebagai berikut;
Tidak hanya di media sosial, isu ini juga banyak diberitakan oleh media massa. Berdasarkan pantauan Newstensity, ada 883 berita terkait Lapor Mas Wapres. Sama dengan di X, puncak pemberitaan terjadi pada hari pertama layanan dibuka.
Sentimen pemberitaan didominasi dengan sentimen positif hingga 76 persen. Hal ini karena sumber utama dari isu ini adalah Wapres maupun tim Wapres. Sehingga, dominasi sentimen positif ini cukup bisa diprediksi. Angle berita positif paling dominan adalah peluncuran layanan tersebut sebanyak 282 berita.
Sementara sentimen negatif hanya mengakuisisi 5 persen pemberitaan. News angle negatif dominan adalah layanan Lapor Mas Wapres dinilai tidak efektif sebanyak 25 berita. Kritik tersebut berasal dari pendapat warganet di X yang dikutip oleh media massa.
Adapun Top 10 news angle pemberitaan adalah sebagai berikut;
Sedangkan, Top 10 media yang memberitakan isuini didominasi media online dan media televisi. Liputan6.com dan CNN Indonesia menjadi media online dan media televisi yang paling aktif memberitakan.
Dari data di atas bisa disimpulkan, sentimen di media massa dan Instagram cukup positif. Sedangkan sentimen di X cenderung negatif. Sentimen positif di X tampaknya terdongkrak oleh buzzer yang mengamplifikasi pemberitaan tentang Lapor Mas Wapres.
Epilog
Pelabelan layanan aduan sebagai Lapor Mas Wapres, yang merupakan replikasi dari Lapor Mas Wali menunjukkan bahwa program ini adalah strategi politik performatif. Outcome yang diharapkan adalah adalah citra Gibran sebagai sosok pemimpin atau politisi yang mau dekat dengan rakyat dan mendengarkan keluhan rakyat. Entah apapun tujuan politiknya ke depan.
Strategi ini bisa sukses bisa juga gagal. Outcome akan tercapai jika ekspektasi masyarakat terpenuhi terhadap layanan ini. Tetapi, bila ekspektasi ini tidak terpenuhi, misalnya aduan tidak tertangani dengan baik, strategi ini akan jadi boomerang. Alih-alih outcome tercapai, Gibran bisa dianggap omong doang.