Kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% dipastikan berlaku mulai Januari 2025. Reaksi penolakan dari masyarakat muncul utamanya di media sosial. Banyak warga menilai kenaikan PPN hanya akan berdampak buruk bagi daya beli masyarakat juga pendapatan perusahaan yang berimbas langsung pada gaji mereka sebagai karyawan. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, kenaikan PPN tentunya hanya akan semakin mencekik kehidupan masyarakat.
Saat mengumumkan hal ini, dalam rapat kerja bersama komisi DPR RI, Rabu (13/11/2024), Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati beralasan keputusannya tersebut demi menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan mengklaim yang dilakukannya bukan kebijakan membabi buta tanpa memikirkan rakyat.
Sri Mulyani berdalih rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% masih sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Bab IV tentang Pajak Pertambahan Nilai pada Pasal 7. Menurutnya, kebijakan tersebut harus tetap dijalankan di tengah tekanan ekonomi global dan seretnya penerimaan pajak.
UU HPP ditetapkan oleh Joko Widodo ketika menjabat presiden. Melalui regulasi tersebut, Jokowi melakukan perubahan signifikan terhadap tarif PPN yang dinaikkan secara bertahap yakni pada April 2022, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%. Selanjutnya, pada tahun 2025, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12%.
Penolakan dari masyarakat juga ramai muncul ketika PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022. Suara dari pengamat ekonomi juga masih sama seperti sekarang. Saat itu tidak sedikit dari mereka yang mengkritisi kenaikan PPN menjadi 11% tidak tepat di tengah tekanan hidup masyarakat sudah berat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Seolah menutup telinga dari seruan publik, pemerintah saat itu tetap menaikkan PPN menjadi 11%.
Kejadian saat itu seolah terulang kembali. Ada banyak hal yang melatarbelakangi penolakan masyarakat terhadap keputusan kenaikan PPN 12%. Di antaranya adalah kondisi daya beli masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya pulih. Hal ini ditambah lagi dengan kondisi ekonomi Indonesia yang masih lesu imbas tekanan ekonomi global. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia pada kuartal III-2024 tumbuh melambat sebesar 4,95%. Lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II-2024 sebesar 5,11% dan kuartal I-2024 sebesar 5,05%.
Tingkat konsumsi rumah tangga masyarakat pada kuartal III-2024 sebesar 4,91% juga tercatat lebih rendah dibanding kuartal II-2024 sebesar 4,93%. Tingkat konsumsi rumah tangga padahal merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap PDB yang mencapai 53,08%. Kondisi ini mencerminkan ekonomi Indonesia yang masih mengalami tekanan.
Kondisi lain yang mencerminkan tekanan ekonomi Indonesia adalah lesunya sektor industri yang ditandai dengan tingginya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di tahun 2024. Hal ini memunculkan ketakutan masyarakat, khususnya kelas pekerja jika tarif PPN tetap diputuskan naik. Belum lagi ancaman semakin dipangkasnya pendapatan kelas pekerja melalui sejumlah kebijakan yang direncanakan mulai berlaku di tahun 2025 seperti tambahan wajib iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), hingga rencana pembatasan subsidi transportasi umum.
Keraguan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola dana pajak juga menjadi sorotan dalam rencana kenaikan PPN 12% ini. Publik mempertanyakan apakah kenaikan PPN nantinya akan benar-benar diimbangi dengan perbaikan fasilitas publik dan pemberian jaminan sosial yang layak bagi kesejahteraan bersama?
Kebijakan “Pilih-pilih” Ala Pemerintah
Bagai menyiram minyak di atas kobaran api, pemerintah diketahui juga tengah menyusun masuknya rancangan undang-undang (RUU) Tax Amnesty bersama 40 RUU lainnya untuk masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2025–2029. Pemberlakuan tax amnesty dinilai hanya akan memudahkan para pengemplang pajak lolos dari kewajibannya. Hal ini semakin menyulut penolakan publik yang menilai pemberlakuan tax amnesty bertolak belakang dengan janji pemerintah dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil.
Peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai pemberlakuan tax amnesty di tengah kenaikan tarif PPN sebagai sebuah ironi. Pemerintah menekan daya beli masyarakat melalui kenaikan PPN 12% tetapi di saat yang bersamaan, pemerintah memberi ampunan kepada wajib pajak yang selama ini mungkin tidak melaporkan ataupun membayarkan pajaknya secara teratur sesuai ketentuan.
Ia cukup menyayangkan sikap pemerintah tersebut. Alih-alih mengampuni para pendosa pajak, menurutnya, pemerintah bisa mengejar kewajiban yang belum dilaksanakan. Hal ini sekaligus menjadi cara untuk melakukan intensifikasi perpajakan guna menggali potensi penerimaan dari pajak yang tidak disetorkan kepada negara secara benar. Cara ini juga bisa diambil sebagai cara pemerintah untuk memberikan hukuman berupa denda besar kepada para pengemplang pajak daripada menaikkan tarif PPN di tengah daya beli masyarakat yang sedang melambat.
Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun mengakui masuknya RUU Tax Amnesty ke Rapat Kerja (Raker) Badan Legislasi (Baleg) hingga kemudian diketok dalam rapat paripurna cukup tiba-tiba. Meski belum adanya pembahasan bersama pemerintah terkait sektor apa saja yang akan mendapatkan pengampunan pajak, dirinya memastikan pembahasan RUU ini akan dilakukan tahun 2025.
Kebijakan pilih kasih ini disoroti oleh Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Ia mengungkap ketidakjelasan pemerintah dalam menerapkan peraturan pemungutan pajak yang bersikeras ingin menaikkan PPN menjadi 12% tetapi di sisi lain bersedia menunda penerapan pajak karbon yang seharusnya berlaku pada 2022. Padahal, kenaikan PPN dan penerapan pajak karbon tersebut sama-sama diamanatkan oleh UU HPP.
Diketahui dalam UU HPP, pemerintah mengatur pajak karbon harus diterapkan pada 1 April 2022 sebelum kemudian diundur menjadi 1 Juli 2022. Kendati demikian, hingga saat ini, pemerintah tak kunjung menerapkan pajak karbon yang apabila dilihat tujuannya juga sejalan dengan cita-cita pengurangan emisi karbon.
Tagar Tolak Kenaikan PPN hingga Seruan Boikot Menggema di X
Keputusan kenaikan PPN 12% memantik keramaian publik di media sosial X. Keramaian ini dipantau dengan bantuan alat big data Socindex dengan memasukkan kata kunci “PPN 12”. Dari periode 13 November-20 November 2024 ditemukan percakapan mengenai kenaikan PPN 12% sebanyak 16.852 percakapan. Percakapan ini mencapai kepada lebih dari 7 juta audiens dengan potensi buzz reach hingga 127,2 juta lebih.
Melihat dari lini masa percakapannya, perbincangan mengenai PPN 12% belum ramai pada tanggal isu ini pertama kali diputuskan yakni 13 November 2024. Kendati demikian, hari-hari setelahnya percakapan terus mengalami kenaikan hingga mencapai puncak keramaiannya di tanggal 18 November 2024.
Pada tanggal tersebut cuitan bersentimen negatif tampak mendominasi percakapan mengenai PPN 12% yakni sebanyak 1.926 percakapan. Menyusul sentimen netral sebanyak 1.836. Percakapan bersentimen positif hanya ditemui sebanyak 891 yang didominasi oleh cuitan dari akun-akun media pemberitaan di X yang memberitakan tentang pernyataan pihak yang mendukung kebijakan kenaikan pajak.
Sejumlah tagar tampak mengemuka dalam percakapan mengenai PPN 12%. Salah satu yang cukup ramai bermunculan di cuitan pengguna media sosial X adalah #TolakPPN12%. Ketika ditelusuri, tagar #TolakPPN12% di X ditemui di sebanyak 3.805 percakapan. Tagar ini pertama kali muncul di tanggal 18 November 2024 dan mencapai puncaknya pada tanggal 20 November 2024.
Tagar ini disampaikan pengguna media sosial X bersamaan dengan kalimat penolakan kepada pemerintah terkait kebijakan yang dinilai hanya akan memberatkan masyarakat tersebut. Adapun bunyi kalimat penolakan tersebut di antaranya “menarik pajak tanpa timbal balik untuk rakyat adalah sebuah kejahatan”. Penolakan tersebut menandakan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah yang dinilai hanya akan menarik uang rakyat melalui pajak tanpa memberi imbalan berupa pelayanan publik yang layak.
Gambar garuda putih dengan latar belakang berwarna biru yang sempat ramai beberapa bulan lalu kembali dimunculkan pada aksi penolakan PPN 12% ini. Garuda biru ini tampaknya sudah lekat menjadi simbol resistensi atau perlawanan masyarakat Indonesia kepada kebijakan atau sikap pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat.
Tidak hanya menyampaikan suara penolakan, ajakan aksi boikot juga bermunculan. Aksi tersebut mengajak masyarakat untuk mengurangi konsumsi belanja dengan menerapkan “frugal living” atau gaya hidup hemat dengan tidak membelanjakan uangnya untuk barang-barang non-pokok. Aksi boikot ini menjadi salah satu upaya publik mendesak pemerintah untuk kembali mempertimbangkan kebijakan tersebut.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai aksi boikot masyarakat dengan menerapkan gaya hidup hemat sebenarnya merupakan keniscayaan. Menurutnya, konsumsi masyarakat akan otomatis menurun ketika gaji atau pendapatan tidak berjalan seiring dengan kenaikan harga-harga barang.
Kenaikan PPN, Bhima menambahkan, akan memberi pilihan kepada masyarakat untuk berhemat atau mencari substitusi barang yang lebih murah. Pencarian barang yang lebih murah ini berpotensi membuat peredaran barang ilegal yang tidak dikenai pajak dalam negeri semakin meningkat. Hal ini justru membuat kebijakan kenaikan PPN 12% untuk menjaga kesehatan APBN kontraproduktif sebab peningkatan barang impor ilegal hanya akan menghilangkan pemasukan pajak untuk negara.
Hal lainnya yang harus diperhatikan dalam seruan aksi “frugal living” ini menurut Bhima adalah pilihan masyarakat untuk berbelanja di warung-warung kecil. Tindakan ini akan mendorong ekonomi bawah tanah (underground economy) atau aktivitas ekonomi yang tidak dipajaki semakin tinggi di Indonesia. Aksi ini juga berpotensi merugikan perusahan ritel modern. Padahal, perusahaan ritel termasuk penyerap tenaga kerja yang cukup besar di sektor perdagangan.
Ketakutan tersebut diamini oleh asosiasi industri ritel. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja menuturkan tanpa adanya langkah mitigasi, kenaikan tarif PPN hanya akan menekan konsumsi domestik yang menjadi salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi negara. Kondisi ini akan mempengaruhi kinerja pusat perbelanjaan yang selama ini menjadi tulang punggung sektor ritel.
Ia berharap pemerintah bisa meninjau ulang kebijakan tersebut dengan menekankan bahwa saat ini masih banyak potensi pertumbuhan usaha yang belum dioptimalkan. Menurutnya, upaya peningkatan penerimaan negara sebaiknya dilakukan dengan mendorong ekspansi bisnis terlebih dahulu.
Warna Negatif pada Headline Pemberitaan
Sama halnya dengan keramaian di media sosial, isu mengenai kenaikan PPN 12% juga menjadi sorotan utama di media pemberitaan selama seminggu terakhir. Menggunakan bantuan alat big data Newstensity, pemberitaan mengenai kenaikan PPN 12% mendapat porsi pemberitaan di media hingga mencapai 2.299 berita. Adapun puncak pemberitaan terjadi di tanggal 19 November 2024 bersamaan dengan masifnya penolakan yang disampaikan publik juga kritik dari sejumlah pengamat terhadap kebijakan tersebut.
Senada dengan warna percakapan di media sosial X, sentimen negatif juga mendominasi pemberitaan mengenai kenaikan PPN 12% yakni sebanyak 1.013 berita. Warna negatif pemberitaan disumbang oleh headline bertuliskan kritik hingga dampak ekonomi yang disampaikan pengamat mengenai kebijakan tersebut. Sementara sentimen positif disumbang oleh pemberitaan pernyataan sejumlah pihak dari pemerintahan seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang mendukung diputuskannya kebijakan tersebut.
Media pemberitaan kompas.com menjadi media yang paling banyak menyoroti isu kenaikan PPN 12% yakni mencapai 70 berita. Diikuti oleh beritasatu.com dan disway.id masing-masing sebanyak 48 berita, tempo.co 38 berita dan antaranews.com 31 berita. Beritasatu.com menjadi media pemberitaan dengan rasio pemberitaan negatif terbanyak dibandingkan dengan media lain yakni mencapai 27 berita dari total 48 berita.
Ketika ditelusuri, media beritasatu.com banyak menyoroti pemberitaan mengenai kenaikan PPN 12% ini dari sisi kalangan yang menolak dan meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), hingga pelaku usaha dari sektor otomotif.
Kebijakan yang Mungkin Lebih Solutif
Temuan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam Kajian “Indonesia Economic Outlook 2025” menunjukkan kinerja penerimaan PPN dalam satu dekade terakhir sebenarnya tidak begitu optimal. Di antaranya penyebabnya adalah porsi sektor informal yang semakin besar di struktur perekonomian Indonesia. Sektor ini seringkali lebih sulit dikenai pajak karena berada di luar jaring pemungutan PPN.
Besarnya ekonomi informal berdampak pada terhambatnya pertumbuhan pendapatan PPN di bawah potensi semestinya. Kenaikan tarif pun tidak optimal mengerek pemasukan PPN. Hal ini tercermin pada saat pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11% pada tahun 2022. Saat itu, porsi PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap pendapatan domestik justru menurun dari 27,6% (2020), 27,5% (2021), menjadi 26,1% (2022).
Berdasarkan data historis tersebut, LPEM FEB UI menilai keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN 12% belum tentu bisa menaikkan penerimaan negara secara signifikan. Kenaikan tarif PPN di tengah lemahnya kondisi daya beli masyarakat juga hanya akan memperbesar peluang penghindaran pajak dan membuat informalitas ekonomi semakin meningkat.
Ekonom Senior Faisal Basri, pada Juli 2024 lalu menyampaikan kenaikan PPN 12% tidak lebih dari sekedar cara mudah bagi pemerintah untuk mengerek penerimaan pajak. Ia merasa perlu bagi pemerintah untuk menunda kebijakan tersebut dengan melihat dampaknya yang akan membebani masyarakat banyak.
Di sisi lain, dirinya menilai pemerintah seharusnya lebih bisa mengoptimalkan penerimaan dari pajak penghasilan (PPh), khususnya PPh badan. Mengingat pemerintah banyak memberikan insentif perpajakan bagi dunia usaha dalam rangka menarik investasi ke dalam negeri. Faisal juga menyoroti tingginya insentif atau subsidi yang diberikan pemerintah untuk pembelian kendaraan listrik yang mestinya bisa dikurangi alih-alih membebankannya pada rakyat melalui kenaikan PPN.
Hal senada disampaikan Bhima. Ketimbang menaikkan PPN, Ia menilai pemerintah sebaiknya mencari alternatif lain untuk menambah penerimaan pajak negara. Di antaranya adalah pajak kekayaan atau wealth tax yang diperkirakan dapat mencapai pemasukan hingga Rp81,6 triliun. Pemerintah juga bisa menerapkan pajak produksi batu bara dan implementasi pajak karbon. Bhima juga menyarankan pemerintah untuk menutup insentif pajak yang tidak tepat sasaran, demi membantu menyelamatkan potensi pajak yang hilang.
Epilog
Penolakan terhadap kenaikan PPN mencerminkan kebutuhan akan dialog yang lebih intensif antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah perlu memastikan kebijakan yang ditetapkan tidak hanya mengedepankan aspek fiskal tetapi juga mengedepankan pertimbangan terhadap dampak sosial-ekonomi secara menyeluruh. Sudah saatnya pemerintah mendengarkan suara rakyat serta orang-orang ahli di bidangnya demi memunculkan kebijakan dialogis yang lebih berdampak bagi kepentingan masyarakat luas.