Indonesia masih defisit hampir 30 ribu dokter spesialis. Idealnya dengan jumlah penduduk 280 juta orang, jumlah dokter spesialis yang tersedia adalah 80 ribu. Rasionya adalah 0,28 per 1.000 penduduk. Bukan hanya persoalan kuantitas, pesebaran dokter spesialis juga masih sangat jomplang. Berdasarkan data Konsil Kedokteran Indonesia, sebanyak 62,1 persen dokter spesialis berada di Pulau Jawa.
Sejak Mei 2024, Kementerian Kesehatan menggenjot jumlah dokter spesialis dengan membuka Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berbasis Rumah Sakit. Ada enam rumah sakit yang ditunjuk untuk menggelar pendidikan spesialis tersebut yakni RS Mata Cicendo, RS Ortopedi Soeharso, RS Pusat Otak Nasional (PON), RS Kanker Dharmais, RSAB Harapan Kita, dan RSJPD Harapan Kita. Sebelumnya, PPDS hanya digelar oleh 24 Fakultas Kedokteran di Indonesia.
Meski terlihat berbenah, PPDS ternyata menyimpan sejumlah cerita kelam dalam proses pelaksanaannya. Termasuk yang baru-baru ini menjadi sorotan yakni soal bullying. Kematian Aulia Risma Lestari menjadi pemantiknya. Dokter PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di RSUP Dr Kariadi tersebut diketahui menyuntikkan obat ke dalam tubuhnya hingga berakibat meninggal dunia di kosnya di Semarang pada 14 Agustus 2024 pagi hari. Dugaan alasan bunuh dirinya adalah karena tidak kuat dirundung oleh para dokter senior. Terjadinya bullying diketahui dari buku harian sang dokter.
Pada hari yang sama, Kementerian Kesehatan menyurati Direktur Utama RSUP Dr. Kariadi untuk menutup sementara Program Anestesi karena ada dugaan kasus perundungan yang menyebabkan bunuh diri. Undip menampik tudingan itu. Lewat edaran surat Nomor: 647/UN7.A/TU/VIII/2024 yang diteken pada 15 Agustus 2024, Rektor Undip Suharnomo menyatakan, investigasi Undip mengungkap bahwa dugaan perundungan tersebut tidak benar. Pihak keluarga juga menyangkal tudingan bunuh diri dan mengatakan penyebab kematian karena sakit.
Kementerian Kesehatan menyerahkan investigasi ke pihak Kepolisian. Apabila kasus bunuh diri akibat perundungan terbukti, maka program spesialis Undip bisa ditutup. Untuk dokter atau dosen yang melakukan perundungan bisa dikenai penurunan pangkat bahkan pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).
Pembelaan demi pembelaan dikeluarkan oleh pihak terkait, tetapi publik tak lantas percaya. Pasalnya, kasus perundungan di kalangan dokter terus terjadi dan diakui oleh banyak pihak. Berbeda dari Undip yang belum mengakui adanya bully di lingkungannya, pihak Universitas Padjajaran (Unpad) telah mengambil tindakan tegas untuk kasus perundungan.
Pada 17 Agustus 2024, pihak Unpad mengungkap telah menjatuhkan sanksi terhadap 10 orang yang terlibat dalam kasus bullying yang terjadi di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) setelah beberapa bulan investigasi dilakukan. Dua dokter residen diberhentikan, tujuh dokter residen mendapat sanksi yang lebih ringan yakni harus mengulang 1 semester, dan untuk satu orang dosen terlibat, tengah didiskusikan sanksi berat yang akan dikenakan. Dari hasil investigasi diketahui bahwa dokter PPDS diperas oleh seniornya. Mereka diminta untuk menyewa salah satu kamar di hotel dekat RSHS selama 6 bulan serta memenuhi berbagai kebutuhan senior. Untuk tuntutan senior itu, para dokter junior harus mengeluarkan hingga Rp 65 juta per orang.
Tahun lalu, tiga rumah sakit pendidikan yakni RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, RSHS Bandung, dan RS Adam Malik Medan juga mendapat sanksi pembinaan dari Kemenkes setelah ditemukan 12 kasus bullying tervalidasi di rumah sakit tersebut.
Sejak tiga kasus tersebut, Kementerian Kesehatan berupaya menanggulangi perundungan lewat Instruksi Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/MENKES/1512/2023. Aturan tersebut mengatur sanksi ringan, sedang, hingga berat kepada pelaku perundungan di lingkungan rumah sakit di bawah Kementerian Kesehatan
Aturan tersebut juga menetapkan jenis-jenis perundungan yakni perundungan fisik (memukul, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, merusak barang orang lain, pelecehan seksual, dsb), perundungan verbal (mempermalukan, merendahkan, mengancam, mengejek, mengintimidasi, dll), perundungan siber/cyber bullying (pencemaran nama baik lewat media digital), dan perundungan non fisik dan non verbal lainnya ( mengucilkan, blackmailing, memberi tugas jaga di luar kewajaran, meminta biaya di luar biaya pendidikan yang sudah ditetapkan, dll).
Ribuan Aduan Perundungan
Perundungan PPDS bukan kabar baru. Keluhan-keluhan akar rumput sudah disampaikan ke otoritas. Pada 2024, Kementerian Kesehatan telah menerima 1.500 aduan lewat sistem laporan perundungan PPDS. Sebanyak 30 persen di antaranya telah ditindaklanjuti dengan cara melakukan investigasi untuk menyelidiki kebenaran kasus dan berikutnya menjatuhkan sanksi pada pihak-pihak bermasalah. Sedangkan sisanya dinilai bukan termasuk kasus perundungan.
Bentuk perundungan yang pernah dilaporkan ke Kementerian Kesehatan antara lain; dijadikan pembantu dokter senior termasuk diperlakukan seperti asisten rumah tangga, dipalak hingga ratusan juta untuk keperluan pribadi dokter senior, diminta mengerjakan tugas dokter senior, dan diminta untuk membelikan makanan, dan lain sebagainya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi pernah mengungkap, di kalangan penyelenggara pendidikan kedokteran secara sistematis ada keengganan untuk mengaku bahwa perundungan ini atau bullying ini masih ada. Parahnya, hal tersebut seakan sudah jadi tradisi. Dokter Bedah Plastik sekaligus penyanyi dr. Tompi mengatakan ada bullying tersebut memang ada dan kerap dinormalisasi.
Meski demikian di kalangan dokter banyak juga yang menyangkal bullying ini. Salah satu dokter yang banyak “dirujak” pernyataannya oleh warganet di X adalah dr Ayu Paramaiswari, dokter spesialis penyakit dalam lulusan dari Universitas Airlangga. Dalam status WhatsApp story-nya ia berpendapat bahwa orang yang tidak kuat mental sebaiknya tidak usah masuk Kedokteran karena banyak orang lain yang ingin masuk. Pernyataannya tersebut dinilai tidak peka pada kasus bullying yang bahkan berujung pada bunuh diri.
Di sisi lain, skrining kesehatan mental PPDS yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan pada Maret 2024 juga mengungkap banyak dokter PPDS yang mengalami depresi, bahkan ada yang punya kecenderungan bunuh diri. Skrining dilakukan di 28 RS vertikal pendidikan bagi 12.121 PPDS. Sebanyak 2.716 dokter PPDS (22,8 persen) mengalami gejala depresi.
Dokter PPDS yang paling banyak mengalami depresi berasa dari spesialis 1 Ilmu Kesehatan Anak (381 orang) dan Spesialis 1 Ilmu Penyakit Dalam (350 orang).
Adapun beberapa penyebab depresi tersebut adalah tekanan sosial yang tinggi seperti perundungan/kekerasan/dari senior dan banyaknya pekerjaan di luar tanggung jawab. Kemudian, masalah akademik seperti pengetahuan medis yang tidak cukup, clinical judgement yang buruk, time management yang tidak baik. Terakhir, situasi yang penuh tekanan (stressor) dalam pendidikan seperti masalah kesehatan fisik dan mental pribadi, beban kerja tinggi, lingkungan kerja yang buruk, kesulitan finansial, pasien banyak, dan lain sebagainya.
Selain depresi, dalam skrining kesehatan Kementerian Kesehatan tersebut terungkap juga ada sebanyak 399 dokter PPDS (3,3 persen) memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup.
Berdampak ke Masyarakat
Meski perundungan ini terjadi di kalangan dokter, tapi dampaknya bisa memengaruhi pelayanan kesehatan secara lebih luas. Baik dari sisi layanan langsung ke pasien maupun dari sisi pemenuhan kebutuhan dokter spesialis. Tidak hanya itu, perundungan juga bisa mendegradasi kepercayaan publik kepada institusi kedokteran.
Pertama, dari sisi pelayanan langsung ke pasien. Pasien berpotensi menjadi pelampiasan emosi dari dokter yang kondisi fisik dan mentalnya direpresi. Kasus perundungan di RS Adam Malik Medan terungkap karena keluhan pasien. Lewat video TikTok yang beredar disampaikan, pasien diperlakukan dengan kasar oleh dokter yang menanganinya. Setelah diusut, dokter tersebut adalah peserta didik PPDS yang stres dan kelelahan karena bekerja jauh melebihi jam kerja seharusnya, serta mendapat perundungan dari seniornya.
Kedua, dari sisi pemenuhan kebutuhan dokter spesialis. Seperti disampaikan di awal tulisan, saat ini Indonesia mengalami kekurangan 30 ribu dokter spesialis. Perundungan tersebut berpotensi membuat tingkat lulusan menjadi lebih rendah. Misalnya dokter PPDS memilih untuk tidak menyelesaikan pendidikannya karena tidak kuat dengan proses pendidikan yang sangat tidak sehat. Selain itu, tradisi perploncoan yang tidak masuk akal bisa saja membuat minat untuk mengambil spesialis kian tergerus. Akibatnya, semakin berat bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis yang ideal baik secara angka kebutuhan dan penyebaran yang merata.
Ketiga, kepercayaan publik terhadap institusi kedokter merosot. Associate Professor Public Health Monash University Indonesia Grace Wangge melihat hal tersebut. Menurutnya, keberhasilan pelayanan kesehatan dibangun di atas trust antara dokter dan pasien. Ia menilai, sistem yang dibangun oleh Kementerian Kesehatan saat ini masih hanya sekedar menghukum pelaku perundungan. Tetapi belum bisa memberantas tradisi perundungan tersebut ke akarnya.
Terkait kepercayaan ini, memang muncul suara-suara kegelisahan di media sosial. Mereka menganggap normalisasi bullying antara sesama dokter bisa berdampak pada pasien. Seorang warganet menceritakan pengalamannya bagaimana ia disebut ‘aneh’ oleh dokter spesialis kejiwaan tempat ia berobat. Ia yang harusnya merasa aman dengan dokter tersebut, malah mendapatkan stigma yang tidak mengenakkan.
Pantauan Media
Kasus dugaan bunuh diri yang menimpa Aulia Risma Lestari memantik kembali pembicaraan tentang perundungan di kalangan peserta didik PPDS. Dari pantauan Socindex, di media sosial khususnya Twitter (X), percakapan mulai muncul pada 14 Agustus 2024. Isu ini dinaikkan oleh akun @bambangsuling11. Ia yang meminta bantuan retweet warganet isu dugaan bunuh diri karena perundungan di progam Anestesi FK UNDIP ini bisa viral.
Isu ini menarik perhatian publik. Berdasarkan pantauan Socindex, kasus ini dan isu perundungan dokter mendapatkan engagement hingga 644.221 kali selama periode 14–20 Agustus 2024.
Percakapan mencapai puncaknya pada 16 Agustus 2024, saat warganet mengetahui salah seorang dokter senior bernama Prathita Amanda Aryani diduga merundung Aulia Risma Lestari. Prathita disebut melakukan berbagai aksi perundungan kepada juniornya, termasuk menyuruh juniornya memakan 5 bungkus nasi padang per orang.
Unggahan yang paling banyak mendapat likes adalah akun @sunwookimz (Leo). Tetapi unggahan tersebut sudah dihapus karena yang bersangkutan mendapat pesan-pesan intimidatif dari akun yang tak dikenal. Leo vokal atas isu ini di berbagai cuitannya. Termasuk menuntut izin dokter Prathita Amanda Aryani dicabut.
Di sisi lain, media massa pun tak kalah gegap gempita memberitakan isu ini. Berdasarkan pantauan Newstensity pada 14–20 Agustus 2024, terdapat 3.598 berita yang mengulik perihal perundungan dokter ini, dengan dominasi sentimen negatif mencapai 83 persen.
Jika di media sosial, nama yang paling banyak mendapatkan engagement adalah terduga pelaku perundingan (Prathita Amanda Aryani), di media massa yang paling sering muncul adalah nama korban (Aulia Risma Lestari), pejabat Kementerian Kesehatan (Budi Gunadi Sadikin, Azhar Jaya, Siti Nadia Tarmizi), dan Rektor UNDIP (Suharnomo). Selain Aulia Risma, mereka menjadi narasumber utama dalam pemberitaan-pemberitaan perundungan dokter.
Epilog
Sudah saatnya berbagai bentuk perundungan berhenti dinormalisasi. Perundungan dokter PPDS khususnya. Perundungan tersebut tidak hanya terdampak pada korbannya saja. Tetapi juga pada layanan langsung pada pasien, kepercayaan publik pada institusi kedokteran, hingga ketersediaan dan pemerataan dokter spesialis di seluruh pelosok nusantara.