Description
Media sosial menjadi sebuah pedang bermata dua bagi brand. Di satu sisi kehadiran media sosial akan mempermudah brand untuk menjangkau konsumen karena konektivitas tanpa batasnya. Di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi senjata mematikan yang dengan mudah membunuh brand.
Pada laporan “Brand on Crisis 2024”, Tim Jangkara Data Lab mencatat setidaknya ada 12 brand yang mengalami krisis, semuanya bermula dari unggahan di media sosial. Unggahan tersebut kemudian viral, dan diikuti pemberitaan oleh media. Reputasi brand pun menjadi taruhannya. Sebagian brand berhasil mengatasi krisisnya dengan cepat, tetapi sebagian lagi harus berhadapan dengan krisis yang berkepanjangan, bahkan diboikot.
Sekali viral, reputasi yang dibangun pun hancur. Seperti naas brand Hamlin, yang terbukti menjual barang yang tidak sesuai dengan citranya sebagai label “premium”. Reputasi Hamlin hancur setelah seorang pelanggan mengunggah kekecewaannya karena barang yang dibelinya ternyata hanya “re-labelling” dari produk lain yang sejatinya lebih murah.
Jika reputasi Hamlin tercoreng karena kualitas barang tidak sesuai yang dicitrakan, Bukanagara Coffee dan Gojek tercoreng karena permasalahan dengan karyawan atau mitranya. Bukanagara, yang terkenal dengan coffeeshop-nya yang apik ternyata ketahuan menunggak gaji karyawannya. Sementara Gojek viral karena diketahui membekukan akun konsumen yang mendukung aksi demo driver. Gojek dituding melakukan union busting atau membungkam demonstrasi para mitra.
Tidak semua viralitas merugikan. Salah satunya terjadi pada brand Mangkokku. Brand ini diviralkan oleh Chef Arnold dengan menunggangi isu yang ramai diperbincangkan kala itu yakni menu makan siang gratis, yang merupakan program unggulan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dalam kampanye Pilpres 2024. Chef Arnold termasuk salah satu yang memanfaatkan isu politik untuk menciptakan keramaian, sebelum akhirnya menggunakannya untuk meluncurkan produk terbaru. Hasilnya cukup manis, karena produk baru Mangkokku besutan Arnold malah laris.
Main-main dengan politik, sayangnya berdampak buruk bagi Implora. Satu unggahan karyawannya yang menyerempet seorang kandidat capres justru berbuah hujatan. Perusahaan pun harus pontang-panting untuk memberikan klarifikasi untuk mencegah berlanjutnya isu. Penanganan yang cepat pada akhirnya membuat Implora berhasil keluar dari krisis brand.
No viral, no justice. Brand langsung cepat mengambil tindakan manakala satu kasus viral. Seperti yang dilakukan BRI, yang langsung menangani kasus telemarketing asuransi yang merugikan nasabahnya. Sebelum viral, nasabah BRI telah mengadu ke sana ke mari dan menunggu waktu yang lama. Setelah viral, kasus tersebut bisa selesai dalam hitungan jam.
Strategi sat set juga dilakukan Indodax yang sempat viral karena kasus peretasan. Untuk memenangkan hati konsumen kembali, Indodax bahkan memberikan giveaway. Strategi tersebut ternyata berhasil untuk BRI dan Indodax. Krisis hanya berlangsung sesaat karena langsung dapat dipadamkan.
Komitmen melakukan perbaikan menjadi poin penting dari penanganan krisis suatu brand. Hal itu dilakukan oleh Dough Lab yang sempat terkena krisis karena warganet merekam hewan pengerat berkeliaran di etalase salah satu gerainya. Dough Lab secara cepat memberikan klarifikasi, sembari menjelaskan berbagai langkah yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas gerainya sehingga kejadian serupa tidak terjadi kembali.
Demikian halnya Sociolla yang sempat dituding melakukan greenwashing terkait recycle station-nya. Penjelasan yang tepat, disertai dengan langkah-langkah perbaikan berhasil mengakhiri krisis Sociolla.
Menangani krisis di media sosial dengan arogansi terbukti merugikan brand. Seperti kasus Erspo yang sempat viral karena dirundung warganet akibat desain jersey Timnas Indonesia yang dinilai tidak sesuai harapan. Krisis sedianya tidak akan berkepanjangan setelah CEO Erspo menanggapi dengan tenang. Sayangnya, desainer jersey Timnas Indonesia dari Makna Group malah menantang netizen, sehingga membuat konflik berkepanjangan dan mengungkap berbagai hal lain, termasuk masalah transparansi tender. Krisis berakhir setelah adanya permintaan maaf dan janji Erspo untuk melakukan perbaikan desain.
Aksi diam kadang dipilih saat sebuah brand terkena letupan sentimen negatif. Seperti saat Hydro Coco dikecam karena iklan yang dibuat oleh influencer Denny Sumargo untuk Hydro Coco, mengandung konten dark joke, yang melanggar aturan periklanan. Hydro Coco yang disenggol-senggol warganet memilih diam. Kemarahan warganet pun ditujukan ke Denny Sumargo si pembuat konten. Krisis memang akhirnya berlalu tanpa Hydro Coco harus bersuara.
Viral yang merugikan dan berujung pada aksi boikot bisa merugikan. Termasuk yang dialami Raffi Ahmad. Ia dan bisnisnya, RANS Entertainment, diboikot dan ditinggalkan pengikutnya karena dinilai “tone deaf” alias tidak peka terhadap situasi negara. Raffi cukup beruntung karena “diselamatkan” basis penggemarnya yang besar dan terkenal militan. Krisis boikot terhadap RANS Entertainment akhirnya berlalu. Namun, cap buruk sebagai selebritas “tone deaf” akan terus melekat, dan bisa menjadi batu sandungan untuk kariernya di masa depan.
Krisis yang dialami 12 brand sepanjang tahun 2024 ini tak bisa lepas dari unggahan yang viral di media sosial. Ada brand yang berhasil menangani dengan baik, ada yang memilih diam sembari berharap isu akan berlalu, akan tetapi ada pula yang reaktif sehingga memicu krisis lanjutan.
Semua terangkum pada laporan “Brand on Crisis 2024”. Laporan ini akan merinci bagaimana awal krisis terjadi, runutan kasus, bagaimana brand menangani, dan insight dari kisah krisis yang dialami oleh brand. Dengan membaca laporan ini, brand akan mendapatkan insight untuk memahami bagaimana seharusnya bertindak saat sebuah krisis melanda.
Anda bisa mendapatkan laporan lengkapnya dengan membeli pada tautan di bawah ini.
